Senin, 06 Oktober 2014

kisah inspiratif penuh makna

suatu hari ada seseorang yang sedang kelihatan seperti orang kebigungan, lalu ada seorang lelaki muda berjalan didepannya, kemudian lelaki itu berhenti sembari menatap lelaki yang sedang duduk sendiri dengan wajah yag serba kebingungan. lelaki itu memandangnya dengan penuh ketakutan.kemudian lelaki itu berkata kepada lelaki yg sedang kebingungan tersebut, "akhi, kulihat dikau sedang memikirkan sesuatu, apa yang sedang kau pikirkan Akhy.."??
sang lelaki itu menjawab, "apakah tuhan tak adil dengan hamba"nya"??"
"kenapa akhy kog berkata seperti itu" tanya lelaki muda tersebut.
"selama ini tuhan sudah memberikan cobaan kepadaku dengan hidup serba kekurangan, serba ketidakpunyaan, dihina semua orang, banyak orang" yg mengaggap kami manusia tak punya etika, selama ini aq sudah mencoba bertahan dengan apa yg telah aq jalani dalam kehidupanku, tpy kenapa tuhan memberikan cobaan sepert ini..? jawab lelaki itu dengan penuh kegelisahan.
"begini, mari kita lihat seberapa banyak hamba allah yg telah diuji melebihi apa yang bapak alami, allah adalah maha penyayang bagi hamba"nya yang mau berdoa kepadanya, tpy intinya bapak LAYUKHALIFULLOHU NAFSAN ILA WUS'AHA(allah tidak akan menguji hamba nya diluar batas kemampuannya), jadi, bapak yang sabar menerima cobaan ini, siapa tahu disamping cobaan yang bapak alami disitulah allah mengangkat derajat hambanya yang bersabar atas cobaan yng allah berikan, harta bukanlah segalanya, harta cuman titipan allah yang nantinya akan kembali kepada pemiliknya..bapak yang sabar ya..aku yakin allah masih sayang kepada bapak dan keluarga bapak.
seketika laki-laki muda itu mencoba menasehatinya, sang bapak mulai runtuh hatinya mendengar nasehat tersebut, ia sadar sampai saat ini ia msh diberikan kesehatan dan kekuatan oleh allah swt, itulah slah satu nikmat allah yang diberiakn kepadaku, kata bapak itu.
kemudian lelaki itu mengajak sang bapak untuk pergi ke masjid untuk sholat dhuhur dan mencoba untuk menenangkan hati bapak tadi..

bisa diambil hikmah, bahwa kita sebagai hamba nya allah, jangan sampai apa yg kita inginkan dan dsibaulkan oleh allah, kemudian lupa kepadaNya,,
dan allah tdak akan menguji hambanya diluar batas kemampuannya...

Panduan Ziarah Makam Auliya' dan Kisah-Kisah Wali Songo Tanah Jawa

NAPAK TILAS MASYAYIKH
Dalam Sirah dan Adab


AULIYA' TANAH JAWA



ü   Riwayat Hidup
ü   Sholat Safar
ü   Sholat Jama’ dan Qoshor
ü   Ziarah Kubur
ü   Tawassul
ü   Do’a – Do’a





Judul :
Masyayikhuna
Dalam Menjelajah Intelektual Islam
Napak Tilas  Jejak Auliya’ Jawa Timur







KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan nikmat dan karunia bagi kita, serta taufiq dan hidayah-Nya semoga selalu menyertai penulis dan kita semua, sehingga atas pertolongan Allah SWT. semata telah selesai kami susun sebuah risalah sederhana yang berjudul : “ Masyayikhuna Dalam Menjelajah Intelektual Islam, Napak Tilas Jejak Auliya’ Jawa Timur”.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada Beliau Nabi Akhiruzzaman Sang pemberi Syafa’at yang telah memberikan tuntunan kepada kita, sehingga kita bisa hidup sesuai dengan apa yang menjadi titah Sang Pencipta.

Mengapa dan bagimana ???
Mengawali pengantar ini, melihat realitas dan asumsi yang ada, banyak sekali saudara-saudara kita yang melakukan ziarah kubur, namun belum mengetahui bagaimana sejarah, perjuangan, dan siapa yang diziarahi sebenarnya. Atas dasar kegundahan inilah penyusun memberanikan diri untuk membuat sebuah risalah singkat para Auliya’ dan Sholihin khususnya wilayah Jawa Timur dan Madura. Karena besar harapan kami, kita semua akan mampu meneladani perjuangan Beliau dan meneruskan apa yang menjadi cita-cita luhur Beliau.
Selain itu, dalam risalah kecil ini juga sengaja kami selipkan kaifiyah dan adab dalam berziarah serta tata cara jama’ qosor, dengan harapan  akan membantu para pembaca yang ingin melaksanakan ziarah kubur khususnya ke Makam para Auliya’ dan Sholihin.
Tak lupa kami ucapkan sukron katsiron kepada segenap masyayikh, khususnya Bapak Pengasuh dan Bapak Kepala Madrasah Miftahul Huda serta guru-guru kami atas segala bimbingan dan tarbiyahnya yang tertuang dalam doa-doa yang selalu Beliau panjatkan siang dan malam dengan penuh ketulusan dan harapan.
Akhirnya, “Tiada Gading Yang Tak Retak”. Oleh karena itu bagi para cerdik cendikia, kami harap kritik dan saran yang konstruktif untuk perbaikan buku ini pada edisi selanjutnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Ponorogo,_________2013


Crew  Penyusun









DAFTAR ISi

1.   Indentitas Buku .......................................................................................2
2.   Kata Pengantar .......................................................................................4
3.   Daftar Isi .................................................................................................5
4.   KH. Hasyim Sholeh .................................................................................6
5.   Kiai Ageng Muhamad Besari ..................................................................16
6.   KH. Chamim Jazuli (Gus Miek) ..............................................................22
7.   Sunan Kalijaga .......................................................................................40
8.   KH. Dalhar ............................................................................................65
9.   KH. Abdurrahman Wakhid ....................................................................73
10.  Mbah Sayyid Sulaiman ..........................................................................81
11. Syehk Jumadil Kubro ..............................................................................88
12. Raden Rahmad (Sunan Ampel) ..............................................................93
13. Syehk Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) .....................................99
14. Syehk Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri) ............................................106
15. Sunan Drajat ........................................................................................110
16. Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) ..........................................116
17. Sunan Muria ........................................................................................123
18. Sunan Kudus .........................................................................................134
19. Sunan Gunung Jati ...............................................................................158
20. Sunan Bayat/Pandanaran ....................................................................172
21. Reden Patah .........................................................................................180
22. Sholat Safar ......................................................................................... 211
23. Sholat Jama’ Dan Qhosor ................................................................. 213
24. Ziarah Kubur ...................................................................................... .215
25. Tawassul ..............................................................................................218
26. Do’a .....................................................................................................223
27. Daftar Pustaka ....................................................................................224
28. Catatan .................................................................................................225



KH. HASYIM SHOLEH
MAYAK, PONOROGO
KH. Hasyim Sholeh adalah sosok ulama’ yang tidak diragukan lagi peranannya bagi masyarakat Ponorogo dan sekitarnya. Beliau adalah Pendiri Pondok Pesantren Darul Huda Mayak Ponorogo. Beliau juga seorang pejuang Dzikrul Ghofilin dan semaan Mantab daerah Ponorogo. Beliau adalah sosok yang rendah hati, tak menonjolkan ibadahnya, selalu berjuang untuk akhirat dan santri- santrinya.  Keagungan akhlak dan tekad yang kuat untuk semua cita-citanyanya beliau warisi dari Mbah Nur Fadhil Gentan Ponorogo. Beliau lahir pada tahun 1939 dari pasangan KH. Husain dan Hj. Sufiah.

A.  Pendidikan
Pendidikan beliau beawal dari bangku SD di lingkungannya. Beliau mempunyai tekad ingin mondok yang begitu besar, sehingga saat khitan belum sembuh benar, beliau berusaha keras agar lekas sembuh. Kadang beliau makan sambal yang sangat pedas, menaburi dengan garam agar luka khitannya cepat kering.
Setelah lebaran tiba, beliau berangkat belajar ke Jampes Kediri.[1] Selama mondok, beliau mencurahkan kekuatan dan tenaga untuk mengaji, serta mengamalkan ilmunya, hingga suatu saat beliau bernadzar bahwa beliau tidak akan mengginjakkan kakinya di tanah Mayak sebelum beliau berhasil dalam mondoknya. Hal inilah yang memembuat ibunda beliau sering menangis karena rasa rindu yang amat mendalam, sehingga ayah dan ibunyalah yang harus menjenguk.
Beliau sudah memiliki kharisma sejak masih kecil.  Cara belajar beliaupun sangat unik, tidak seperti  lazimnya para pelajar lainnya. Selepas Subuh, beliau terkadang pergi ke kebonan (kebun: Jawa ) untuk belajar. Durasi belajarnya pun tidak pernah lama, hanya  beberapa menit. Walaupun seperti itu, beliau mampu menangkap pelajaran dengan sempurna. Bahkan konon, sewaktu di pondok, beliau mampu mengalahkan kakak kelasnya dalam hal keilmuan. Beliau pun sering melakukan tirakat, mulai puasa mutih, ngrowot (makan polo kependem),.Tamat mondok,  beliau pulang ke Ponorogo. Beliau melaksanakan puasa mutih selama 7 hari, di hari terakhir beliau lupa tidak makan sahur, padahal waktu itu puasa harus diteruskan dengan puasa pati geni ( buka pada waktu pagi). Waktu malam tiba, tubuh beliau tak kuat hingga beliau pingsan. Teman-temannya berusaha menyadarkannya. Akhirnya munculah ide agar beliau di beri upo ( butiran nasi : jawa ), sebab dari mulut beliau sudah tidak bisa lagi dimasuki makanan.
Saat dalam kondisi antara sadar dan tidak, beliau bermimpi bahwa bumi Mayak tertimpa Ka’bah dari arah langit, serta ada cahaya yang sangat terang melayang di atas beliau. Beliau berusaha keras untuk dapat menangkapnya, namun tak berhasil. Setelah sadar, beliau segera sowan kepada salah satu masyayikh untuk menanyakan hal - ihwal mimpinya malam itu.
Sang  kyai menjawab,  Guska’bah yang  jatuh di bumi Mayak itu tanda bahwa kelak bumi Mayak akan menjadi kiblatnya ilmu agama, sebagaimana Ka’bah sebagai kiblat dalam sholat. Sedangkan cahaya itu...”.dari referensi yang kami dapat, beliau Kyai Hasyim tidak menceritakan arti mimpi tersebut. Setelah berpamitan, beliau segara pulang ke Ponorogo dan berjuang untuk agama. Dalam perjalanan pulangnya, beliau berkata ”Aku nek wis neng omah arep nikah, tapi ora bakal karo dulurku dewe”. Namun takdir berkata lain. Akhirnya, beliau menikah dengan orang yang masih mempunyai hubungan saudara dengannya.

B.  Mendirikan Pondok
Sepulang mondok, kegiatan rutin Kyai Hasyim Sholeh di waktu malam adalah mengajar sekolah diniyah di Mayak kulon.[2] Beberapa tahun kemudian, banyak santri yang ingin mengaji, hingga akhirnya sekolah diniyah dipindah dari Mayak kulon ke Mayak wetan[3]. Saat itu, kegiatan belajar- mengajar dilaksanakan pada sore hari.
Selang beberapa lama, ada seorang pekerja bernama Boiman yang ikut ngaji di diniyah beliau. Namun, karena eman (tidak ingin sia-sia : jawa) ngajinya, akhirnya Boiman tinggal di Mayak. Sedikit demi sedikit, banyak yang mengikuti jejak Boiman. Hingga akhirnya, berdirilah Dzulhulaifah sebagai cikal bakal ponpes darul huda. Usaha beliau dalam mengembangkan pondok tidak tanggung-tanggung, mulai dari bertani, berdagang,   berkebun, hingga minta sumbangan ke berbagai pihak, namun beliau berkata”wis cukup aku ae sing isin, cukup aku ae sing njaluk-njaluk, ojo nganti anak puthuku nglakoni koyok aku”. Tak sia-sia usaha beliau, akhirnya saat ini, Pondok Pesantren Darul Huda Mayak telah berkembang luar biasa.
Mbah Hasyim terkenal dengan tekad yang gigih dalam berjuang demi tercapainya tujuan mulianya. Hal ini terlihat saat “ngedeng-ngedenge” (sibuk-sibuknya : jawa) membangun gedung madrasah, di mana saat itu, demi tercapainya jumlah dana yang di butuhkan, Mbah Hasyim membuka usaha “ingkung”.[4] Menurut keterangan, tidak kurang dari 5000 ingkung yang beliau buat. Toko-toko beliau kumpulkan, orang-orang terdekat, santri-santri dan mereka-mereka yang siap menjadi distributor untuk usaha besar ingkung juga beliau ajak. Tidak hanya kalangan bawah yang beliau dekati, para pejabatpun tidak luput dari misi beliau. Tentang pembayaran, cara yang beliau terapkan sangatlah fleksible, bayar dimuka, dibelakang, atau diangsur silahkan. Intinya beliau tidak memberatkan pelanggan. Sungguh suatu sifat yang sangat arif dan bijaksana.

C.  Perjuangan Dzikrul Ghofilin
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Dzikrul Ghofilin merupakan sebuah amalan yang dibawa oleh KH. Hamim Djazuli (Gus Miek). Di Ponorogo, Mbah Hasyimlah yang diperintah untuk mengembangkanya di bumi ponorogo, bahkan dapat dikatakan beliaulah pembawa atau pembabad aurod Dzikrul Ghofilin di Ponorogo. Tentu berbagai macam apresiasi yang ditunjukkan masyarakat saat itu, ada yang bisa menerima dengan senang hati, namun tidak sedikit pula yang mencemooh.
Mbah Hasyim mendapatkan ijazah Dzikrul Ghofilin pada tahun 1986. Seperti yang diceritakan almarhum Bpk. H. Muhdi,[5] bahwa saat itu orang lebih cenderung mengatakan bahwa Dzikrul Ghofilin merupakan sebuah amalan yang baru. Maka menurut mereka perlu diadakan sebuah verifikasi (pengujian). “Apakah benar bahwa Dzikrul Ghofilin merupakan sebuah amalan yang baru ? Benar, bahwa Dzikrul Ghofilin merupakan sebuah amalan yang baru, namun tidak lebih hanya dalam hal penamaan  saja. Bila dilihat lebih dalam tentang esensi dari Dzikrul Ghofilin, ternyata tidak ada yang baru. Sebagai contoh, bacaan Surotul Fatihah, Asma’ul Husna, Istighfar, Sholawat, dan lain-lain.
Setelah selang beberapa waktu, pada akhirnya Dzikrul Ghofilin lambat laun dapat diterima di tengah masyarakat, seperti yang kita ketahui saat ini, lebih dari ribuan orang memadati makam Tegal Sari setiap malam Jum’at Kliwon, di mana di sana diadakan kegiatan rutinan aurod Dzikrul Ghofilin

D.  Tidak akan Bisa Mengetahui Kewalian Seseorang   kecuali Seorang Wali

“Tidak akan bisa mengetahui kewalian seseorang kecuali seorang wali.” Kurang lebih, itulah arti yang tersirat dari sebuah ungkapan yang masyhur kita ketahui:
لايعرف الولي الا الولي
Menurut suatu riwayat, dijelaskan bahwasanya Kyai Hasyim memang seorang waliyulloh. Hal ini diketahui dari cerita KH. Tajuddin Heru Cokro[6], dikala beliau sowan kepada Mbah Mubasyir Mundzir Bandar Kidul, kurang lebih kisahnya sebagai berikut . Pada waktu itu, Gus Tajuddin dan Kyai Hasyim sowan kepada Kyai Hamim Jazuli di Makam Tambak. Saat itu makam Tambak belum dikenal banyak orang seperti saat ini. Peristiwa ini terjadi kurang lebih jam 2 malam. Saat itu Gus Tajuddin bersama-sama  Kyai Hasyim, dan Mbah Man Hamim Kemayan. “Pada saat sowan kulo didawuhi Gus Miek”, kata Gus Tajuddin. “Derekno Kyai Hasyim sowan Mbah Abdul Qodir Khoiri….!”. Perintah Gus Miek kepada Gus Tajuddin. Gus Tajud saat itu hanya diam, di satu sisi pada saat itu maqbaroh sangat gelap, beliau ajrih (takut), di sisi lain Mbah Hasyim selalu merasa rendah hati, beliau tidak mau diantar oleh Gus Tajuddin.dan. Akhirnya mereka berdua hanya  udur-uduran ( berselisih) hingga tiba pagi hari.
Setelah pagi, Gus Tajud ditanya oleh Gus Miek,“Kowe mambengi sido nderekne Kyai Hasyim sowan neng Mbah Abdul Qodir Khoiri ?”(tadi malam kamu jadi mengantar Kyai Hasyim sowan kepada Mbah Abdul Qodir Khoiri…? ). Lalu Gus Tajud menjawab, “mboten…, kulo ajreh. Kaping kaleh, Kyai Hasyim mboten kerso kulo derekne. Kinten-kinten mangke malah udur-uduran ingkang dados imame”(Tidak jadi, saya takut. Alasan kedua karena Kyai Hasyim tidak mau saya antar. Kira-kira kalau nanti saya jadi ngantar, nanti malah berselisih siapa yang menjadi imam). “O…, lek ngono sing apik mengko bengi Kyai Hasyim diderekne sowan nang Mbah Mundzir Bandar Kidul (O…Kalau begitu, sebaiknya Kyai Hasyim diantar sowan kepada Mbah Mundzir Bandar Kidul)” Kata Gus Miek.
Akhirnya semuanya  (Kyai Hasyim, Gus Tajud, Kyai Man Hamim Kemayan-Mojo- Kediri[7]) sowan kepada Mbah Mundzir dan tiba di sana sekitar jam 12 malam. Sesampainya di Bandar Kidul, Gus Tajud matur kepada Kyai Hasyim, “Yi…, mengke ingkang sowan dateng Mbah Mundzir panjenengan  mawon kaliyan Kyai Man Hamim nggih, kulo nderekne sowan mawon pun gemeteran Yi…(Kyai..nanti yang masuk menemui Mbah mundzir kamu saja dan Gus Miek ya, kalu saya, ngantar sowan saja sudah gemetaran)” kata Gus Tajud. Tapi Kyai Hasyim, tetap memaksa Gus Tajud untuk ikut sowan sesuai dengan perintah Gus Miek. Akhirnya mereka bertiga masuk ke kamar Kyai Mundzir yang saat itu beliau masih tidur (sare : jawa).
Tepat pukul 01.00 malam, mbah Mundzir bangun, “ lho…  Kyai Man Hamim………!”sapa Mbah Mundzir. “Enggih”balas Kyai Hamim.” kowe kok nggowo wong  songko Ponorogo…?” (kamu kok membawa orang dari Ponorogo..?)[8]. Saat itu Gus Tajud tidak dapat berkata apa-apa, hanya diam. Karena heran, Gus Tajuddin bertanya kepada Kyai Hasyim,  “Yi…., njenengan nopo sampun nate sowan Mbah Mundzir?”Dereng”, jawab Kyai Hasyim.
Lalu, Mbah Mundzir dawuh kepada Gus Tajud, “Tajuddin, 7 tahun kepungkur, awakmu tak utus  nyatet asmane Wali-Wali sak dunyo, seng iseh sugeng lan sing wes kapundut”. ”Nggih Yai” jawab Gus Tajuddin membenarkan.[9] Kemudian Mbah Mundzir mengutus salah seorang  khodamnya.[10] “Fudz, jupukno potelot karo kertas, aku mbiyen tau ngutus Gus Tajud nulis Wali sak dunyo sing isek sugeng lan seng wes kapundut,  tapi durung tutuk, saiki arep diterusne (Fudz, ambilkan pensil dan kertas, aku dulu pernah memerintah Gus Tajud menulis nama wali-wali di seluruh dunia,yang masih hidup maupun yang telahmeniggal dunia,tapi belum selesai, sekarang akan dilanjutkan),”kata Mbah Mundzir.
Saat itu Gus Tajud sudah gemetaran, karena merasa belum bisa. Karena sangking pekanya Mbah Mundzir, beliau tahu kalau Gus Tajud gundah.  Lalu Mbah Mundzir berkata,“ Fudz, mahfudz. Sing nulis kowe wae, Gus Tajud ki mbiyen Madrasah durung tamat (Fudz, Mahfudz. Yang menulis kamu saja, Gus tajud dulu belum tamat madrasah).” Seketika itu, Gus Tajud merasa senang luar biasa.
Setelah nama para wali ditulis, lalu pensil dan kertasnya diberikan kepada Gus Tajud. “Jud, iki gowonen, gowonen bali”, kata Mbah Mundzir. ”Nggeh Yai”, jawab Gus Tajud. “Simpenen, nggonen kenanang-kenangan, mbok menowo kowe hadiyah Al-Fatihah wali sak dunyo, senajan urung tutuk lek mu nulis,”kata Mbah Mundzir. “Nggeh Yai”, kata Gus Tajuddin.
 Kemudian, mereka sungkem dan memohon diri. Saat itu kertas di masukkan ke dalam saku Gus Tajud. Lalu mereka pergi. Kira-kira baru melangkah 12 meter,  tiba-tiba Gus Tajud dipanggil oleh Mbah Mundzir. “Le… Jud, mbaliko merene…!”, “Nggeh”, kata Gus Tajud. “ Kancamu loro  kae tulisen neng kertas kuwi…!”(Dua temanmu itu tulislah di kertas itu…!). “Engkang panjenengan kersaaken nopo tiyang Ponorogo niku kaleh Yai Hamim…?”(Yang anda maksud apa orang Ponorogo itu dan Kyai Man Hamim Kemayan….?), tanya Gus Tajuddin. “Iyo…”(iya), jawab Mbah Mundzir.
Gus Tajud tidak dapat berkata apa-apa, apakah Mbah Hasyim ini termasuk wali atau bukan, yang jelas, Mbah Mundzir mengutus Gus Tajud untuk menulis nama Mbah Hasyim di kertas yang telah beliau berikan… Wallohu A’lam Bi al-showab.
E.  Akhir Riwayat

Setelah berjuang gigih melawan sakit yang membelenggunya,[11] akhirnya beliau  memenuhi mimpi terakhirnya, bertemu dan selalu bersama dengan Tuhannya tanpa adanya belenggu daging dan darah. Peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu, 13 Desember 2003 M yang bertepatan pada 18 Syawal 1424 H, dimana saat itu, seluruh umat Islam sedang merasakan indahnya hari raya Idul Fitri, namun tidak dengan masyarakat Ponorogo. Ribuan mata bercucuran air mata kehilangan seorang yang menjadi panutan mereka, yang selalu mereka harapkan kehadirannya.
Di saat pemakamanpun langit tak kuasa menahan tangisnya,[12] Beliau telah meninggalkan suatu warisan yang sangat besar bagi umat Islam, yakni pondok pesantren yang tercinta DARUL HUDA...

Ila hadhroti syayikhina KH. Hasyim Sholeh,
al- Fatihah….


KIAI AGENG MUHAMMAD BESARI (1187/1773 M)
DAN KIAI HASAN BESARI (1800-1862 M)
TEGALSARI, PONOROGO

Pesantren Tegalsari dirancang dan didirikan oleh Kiai Ageng Muhammad Besari dan mengalami masa kejayaan pada saat diasuh oleh Kiai Hasan Besari. Lebih lanjut, Kiai Hasan Besari adalah guru dari Ronggowarsito

A.  Silsilah Keturunan
             Mengenai asal – usul Kiai Ageng Muhammad Besari bahwa ia berasal dari Caruban, Madiun. Ayahnya bernama Kiai Anom Besari dari Kuncen, Caruban, Madiun . Kiai Ageng Muhammad Besari mempunyai Sembilan putra-putri. Salah satunya bernama Zainal Abidin yang diambil menantu oleh Raja Selarong Malaysia. Sedangkan putri bungsunya  dinikahkan dengan Kiai Ibnu Umar. Dalam cataan sejarah, tokoh yang namanya disebut terakhir ini nantinya menjadi ulama besar yang mengajar di daerah Banjar.

B.  Berguru Kepada Kiai Danapura
             Pada waktu mudanya, Ki agung Besari bersama adiknya Nur Shadiq, berguru kepada Kiai Danapura,seorang ‘ulama besar yang tinggal di sebelah tenggara kota Ponorogo. Kiai Danapura adalah keturunan dari Sunan Tembayat. Empat tahun lamanya, mereka berdua  belajar, setelah ia melanglang buana ke daerah Ponorogo. Pada saat singgah di Mantub Ngasinan, mereka berdua bertemu dengan Kiai Nur Salim dan singgah di rumah Kiai kharismatik itu.

C.  Diambil Menantu
Rupa-rupanya kiai Nur Salim tertarik dengan kepribadian Ki Ageng Muhammad Besari. Sehingga kemudian Ki Ageng Muhammad Besari oleh Kiai Nur Salim dikawinkan dengan putri sulungnya. Setelah menikah, Kiai Ageng Muhammad Besari  memboyong istrinya ke pesantren Kiai Danapura. Di sana, mereka tinggal selama satu tahun. Setelah itu, mereka disarankan oleh Kiai Danapura untuk membuka tanah diseberang timur sungai yang kemudian diberi nama “Tegalsari “.
             Di desa yang baru dibukanya ini, Kiai Ageng Muhammad Besari kemudian memberikan pengajaran agama kepada masyarakat, ia juga dikenal sangat sakti, karena berhasil mengalahkan semua megic yang dikuasai para warok, pemimpin Reog Ponorogo”. Semenjak itulah ia dikenal luas oleh masyarakat, sehingga bertambah hari muridnya bertambah banyak. Bahkan setelah Kiai Danapura meninggal, praktis perhatian masyarakat beralih kepada Pesantren Tegalsari.

D.  Perancang Pondok Pesantren Tegalsari
             Pesantren Tegalsari sendiri di rancang dan didirikan oleh Kiai Ageng Muhammad Besari (1742/1773M), tokoh yang hidup sejaman dengan Syekh Abd Al-Muhyi, ulama’ kharismatik asal Tasikmalaya, Jawa Barat. Konon, Pesantren tersebut mengalami kejayaan pada saat itu diasuh oleh Kiai Hasan Besari (1800-1862). Lebih lanjut Kiai Hasan Besari yang terakhir ini dikenal sebagai guru dari Ronggowarsito.
             Tentang sejarah berdirinya pondok tersebut, seorang belanda bernama F. Fokkens telah melakukan penelitian yang menghasilkan sebuah karya yang diberi judul  “De Priasterschool te Tegalsari” (Sekolah Ulama’ Tegalsari yang diterbitkan dalam TBG, 1877.No. 24, dalam buku tersebut Fokkens menjelaskan bahwa pada tahun 1742 M katika Susuhunan Paku Buwono II menghadapi perang pemberontak orang-orang China-Jawa dan perlawanan Mas Ganderi, di Ponorogo, tepatnya di desa Tegalsari, tinggallah seorang ulama’ besar yang bernama Ki Ageng Muhammad Besari. Bertahun-tahun ia tinggal menyendiri dan mengasingkan diri di daerah yang terletak di kaki gunung Wilis tersebut.
             Dalam kesepiannya dan jauh dari keramaian, ia hanya makan akar-akaran dan mengabdikan hidupnya kepada Allah semata. Setelah itu berdatangan kerabat-kerabatnya untuk menetap di sana. Ia lalu mengajarkan membaca al-Qur’an dan ajaran-ajaran Islam. Lambat laun pengikutnya bertambah banyak sehingga tempat pertapan itu berkembang menjadi desa yang diberi nama Tegalsari.

E.  Tegalsari Pondok Pesantren Pertama
             Memotret peta jaringan  ulama pesantren di Nusantara, khususnya di daerah Jawa, maka Pesantren Tegalsari tidak bisa dilupakan. Pasalnya, keberadaan Pesantreen Tegalsari merupakan cikal bakal bentuk pesantren dengan sistem dan kurikulum pendidikan, serta pengelolaan pesantren, seperti yang dikembangkan oleh pesantren di tanah Jawa sekarang. Disebut demikian , karena Pesantren Tegalsari pada dasarnya merupakan pondokan atau zawiyah bentuk mempelajari tasawuf, sekaligus sebagai basis pengembangan tarekat tertentu.
             Makanya wajar, ketika banyak orang menyebut keberadaan  pondok pesantren pada abad ke 17, dan bahkan abad  16, namun pada kenyataannya tidak ditemukan data yang menjelaskan bentuk pondok pesantren pada masa itu secara utuh. Hal ini, misalnya pernah diokemukakan oleh Martin van Bruinessen. Menurutnya, sebelum Pesantren Tegalsari, belum ditemukan satu bukti pun yang menyatakan ada pesantren lain. Hal ini karena yang ia jadikan standar model pesantren adalah pesantren Jawa seperti yang ada sekarang. Jadinya, Marti berkesimpulan bahwa pesantren baru ada pada abad ke 18, yang berupa pesantren Tegalsari.

F.  Mengajar Kitab Salaf
             Karena banyaknya orang yang dating dari berbagai daerah untuk belajar di sana, maka didirikan sebuah masjid yang dikelilingi pondok-pondok kecil untuk tinggal sementara. Sejak itulah, pelajaran Bahasa Arab mulai diajarkaan di pesantren tersebut dibawah asuhan langsung Kiai Ageng Muhammad Besari.
             Sampai saat ini telah ditemukan sejumlah kitab sebagai peninggalan yang masih tersisa di Tegalsari, yaitu tiga jilid kitab fiqih syarah kitab Fathul Muin karangan Zain Al-din al-Malibari pada abad ke 16 masehi. Penulisan kitab tersebut selesai pada tahun 1933 oleh Muhammad Jalalain bin Hasan Ibrahim bin Hasan Muhammad bin Hasan Yahya bin Hasan Ilyas bin Muhammmad Besari. Disamping itu, ditemukan pula satu bendel kitab tua yang merupakan kumpulan dari kitab Al-Jauhar al- Samin li Umm al- Barahin al Munhati, Jauhar al-Tauhid dan kitab tajwid yang tidak lengkap.
             Tidak diketahui siapa penulis keempat kitab tersebut, namun bila dilihat dari tulisannya, diduga keempat kitab tersebut ditulis oleh satu orang. Tampaknya sang penulis adalah seorang yang pernah belajar di tanah suci karena dalam kitab tersebut terdapat beberapa keterangan dengan menggunakan bahasa arab, bukan bahasa jawa. Kertasnya tidak berasal dari Tegalsari. Pada halaman pertama dari kitab ”Umm al-Barahin terdapat keterangan bulan peristiwanya,yaitu bulan jumadil awal tahun alif.
             Terdapat juga satu bendel kitab yang tampaknya paling tua usianya. Sampulnya terbuat dari kulit dan sudah hancur dan memakai kertas gedok dari tegalsari. Pada halamanya terdapat catatan propesi tegalsari sebagai desa perdikan berikut catatan cacah desa,serta jumlah penduduk laki-laki dan perempuan. Di dalamnya terdapat penggalan karya fiqh yang tidak jelas dikutib dari kitab fiqh apa .Teks ini tertulis menggunakan bahasa arab pegon atau huruf arab melayu. Disamping itu,di dalam kitab ini ditemukan kitab fiqh (tidak lengkap) berjudul “al-Muharrar “ karangan Abu ai- Qosim al- Rafi’i (w.523/1226).

G.  Kiai Hasan Besari Wafat
             Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un,  pada tanggal 9 Januri 1862  M, KiaiHasan Besari wafat dalam usianya yang keseratus tahun. Ia meninggalkan sepuluh anak (Yang tertua berumur 70 tahun dan yang paling muda berusia 26 tahun ) dan 44 cucu. Ia dimakamkan di pemakaman keluarga dekat kakek dan ayahnya di Tegalsari.
             Setelah Kiai Hasan Besari wafat, desa Karang Gebang dan Pohlima dipisah dengan Tegalsari. Lalu diangkatlah anaknya dari istri Raden Ayu  salah seorang putri Paku Buwono IV , Raden Kasan Ripanggi sebagai kepala perdikan. Sedangkan Tegalsari dipimpin oleh Kiai Kasan Anom, putra tertua Kiai Hasan Besari dari istri pertama. Kemudian Kiai Hasan Anom meninggal pada tahun 1873 M, dan digantikan oleh adiknya Kiai Kasan Kalipo.


Ila hadhroti syayikhina Kyai Ageng Muhammad Besari wa syayikhina Kyai Hasan Besari,
al- Fatihah….

 
IAI CHAMIM JAZULI ( GUS MIEK )
 TAMBAK, NGADI, MOJO, KEDIRI

Beliau adalah seorang salik (pejalan) dalam arti yang sesungguhnya. Dalam perjalanan itu, beliau telah bertemu banyak orang yang beragam pilihan dan cara hidupnya. Mulai dari orang yang paling bejat dan hina, sampai orang paling bermartabat di mata Tuhan dan manusia. Semua disapa dan didekati dengan sepenuh hati dan jiwanya. (Muhammad Nurul Abad dalam bukunya Perjalanan dan ajaran Gus Miek).

A.  Kelahiran
Gus Miek adalah salah satu dari putra Kyai Djazuli Usman dan Nyai Rodhiyah. Konon Nyai Rodhiyah masih mempunyai garis keturunan hingga Sayyikhina ‘Ali. [13] Gus Miek  dilahirkan pada tanggal 17 Agustus 1940. Kisah singkat tentang cerita kelahiran Gus Miek, pada tanggal 17 Agustus 1940, seorang bayi laki-laki lahir dari keluarga KH.Djazuli Utsman. Kelahiran ini sangat dinanti- nantikan sang ibu karena semasa dalam kandungan, sang ibu sering mengalami peristiwa-peristiwa dan mimpi- mimpi luar biasa yang belum pernah dialami sebelumnya meski sang ibu telah mengandung dan melahirkan sebanyak 4 kali. Sebagai mana keyakinan para ulama terdahulu bahwa pada saat-saat tertentu, mimpi-mimpi seperti itu memiliki arti penting dan bisa dijadikan isyarat karena merupakan ilham yang dikaruniakan Allah melalui jalan mimpi.[14]
Bayi yang telah dinantikan tersebut adalah Gus Miek. Konon, saat melahirkan Gus Miek, sang ibu menerima tamu tak dikenal yang menyerahkan gabah (padi) yang sangat banyak untuk persiapan pesta menyambut kelahiran anaknya. Jika diruntut jauh kemasa berikutnya, terbuktilah pernyataan bahwa sepanjang perjalanan Gus Miek bersama pengikutnya, banyak sekali orang- orang di sekeliling Gus Miek yang rela menyerahkan harta benda yang tidak ternilai kepadanya. Lepas dari apakah itu berkaitan dengan perjuangan Gus Miek, atau hanya sebatas pemberian yang bersifat pribadi. Ada yang memberikan mobil, rumah, hotel, dan tanah. Akan tetapi, dari semua pemberian itu ada yang diterimanya dan ada yang diabaikan.
Anak yang yang baru lahir itu diberi nama Hamim Thohari Djazuli, yang lebih sering dipanggil Amiek atau Gus Miek. Beliau tumbuh menjadi anak yang lucu. Gerak geriknya halus dan lembut. Seolah mencerminkan kehalusan dan kelembutan hati. Tutur kata dan tingkah lakunya mengagumkan, membuat orang- orang yang dekat denganya merasa teduh, tenang, penuh kedamaian, dan perhatian yang tulus.[15]
Gus Miek kecil, ketika bejalan selalu menundukkan muka, seolah- olah mencerminkan rasa kerendahan hati yang mempesona. Langkahnya pelan dan penuh kehati- hatian serta ketenangan, membuat orang yang melihatnya terpukau dalam keanggunan dan keheningan perilakunya. Beliau tak banyak bicara dan suka menyendiri, berbeda dengan saudara- saudaranya dan teman sebayanya yang lebih senang dekat dengan ibunya atau kepada para santri. Hal ini seolah menyimpan misteri yang tak terjawab, mungkin hanya beliau saja yang tahu atau bahkan beliau sendiri tidak tahu dan berusaha mencari jawabannya. [16]
Gus Miek kecil sangat jarang makan di rumah. Bila makan di rumah, saat saudara-saudaranya menanyakan apa menu makanannya, Beliau lebih banyak diam menunggu, dan menerima apapun menunya. Beliau lebih sering memilih makan bersama santri putri, setelah sebelumnya membantu mencarikan kayu bakar. Nasi liwet, sayur bayam dan toge menjadi menu rutin mereka.[17]
Gus miek lebih suka tidur dipondok atau diemperan masjid dibawah beduk daripda di rumah. Bila dirumah semalaman dia tidak tidur, ada saja ang dilakukannya agar tetap terjaga. Ketika dicari ibunya beliau sering menghilang entah kemana. Beberapa santri bercerita bahwa dalam sehari semalam gus miek hanya tidur sekali. Bila sudah terjaga baik diwaktu siang maupun malam Beliau tidak akan lagi tidur sampai pada jam yang sama dihari berikutnya.[18]
Gus miek memang tidak begitu dekat dengan orang tuanya. Bila seluruh keluarga berkumpul, beliau selalu mengambil tempat yang paling jauh. Kebiasaan ini terus berlanjut bahkan sampai ahir hayatnya. Satu alasan yang pernah didengar oleh salah satu santrinya, bahwa Gus Miek sangt menjaga rasa hormatnya terhadap kedua orang tuanya sehingga sangat takut mendapatkan kemarahan dari kedua orang tuanya, atau tidak sanggup memenuhi tuntutan dari kedua orang tuanya. Dengan menjauh kemarahan itu tidak akan didapatkan, demikian juga tidak ada perintah-pernintah atau larangan dari keduanya yang harus dipenuhi. Boleh jadi saat itu, baik KH. Djazuli maupun Nyai Rodhiyah belum menyadari tanda-tanda kewalian pada diri Gus Miek.[19]
Baru setelah beberapa tahun berlalu dengan melihat beberapa keanehan pada diri Gus Miek dan masukan-masukan dari beberapa Kyai besar yang sangat dihormati KH. Djazuli, barulah KH. Djazuli memahami apa yang terjadi pada anaknya itu, bahkan semenjak gus mik menikah yang kedua kalinya, KH. Djazuli Justru boso (bertutur kata dengan sopan dan hormat) kepada gus miek, Sesuatu yang tidak pernah dilakukakanya kepada anaknya. Hal ini karena kebesaran hati dan keluasan pandangan kh. Djazuli yang memandang bahwa anaknyamemiliki derajat yang lebih tinggi dimata Allah daripada dirinya. [20]


B.  Pedidikan Yang Tak Pernah Usai
Sewaktu memasuki sekolah SR (sekolah rakyat), Gus Miek mulai menampakakn keanehannya dengan membolos sekolah. Bila dicari ibunya agar berangkat sekolah dan mengaji, beliau sering berkilah dengan menyuruh santri agar menutupi persembunyiannya dengan berbagai cara. pernah beliau hampir kepergok ibunya di kamar, beliau pun meloncat melalui cendela dengan bergantungan pada gorden, tetapi malang, gorden itu terlepas dan ia jatuh bergulingan di tanah kemudian lari entah kemana.[21]
Bila masuk sekolah, dia jarang memperhtikan pelajaran sebagaimana murid yang lain. Pernah seorang guru menghukumnya dengan menyuruhnya bernyanyi, tetapi dia justru mengumandangkan adzan dengan suara yang sangat merdu, membuat sang guru tidak berani memarahinya.[22]
Dalam pendidikan, terutama belajar membaca Al-Qur’an, Gus Miek untuk pertama kalinya dibimbing langsung oleh ibunya, kemudian diserahkan kepada ustadz Hamzah, bersama-sama Khoirudin dan Hafidz. Sayang proses mengaji Al-Qur’an ini tidak berlangsung lama karena baru belajar satu juz Gus Miek sudah minta khataman (kelulusan). Akhirnya, Gus Miek diluluskan lebih dulu.[23]
Menurut cerita, pernah suatu ketika Gus Miek disuruh mengaji oleh ayahnya. Gus Miek hanya memanggul kitabnya dan mengelilingi ayahnya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengatakan bahwa dirinya telah mempelajarinya, lalu beliau pergi. Melihat tingkah laku anaknya, KH. Djazuli hanya bisa diam dan tersenyum.[24]
Sikap KH. Djazuli yang berbeda terhadap Gus Miek ini di sebabkan beberapa hal. Pertama, sejak lahir Gus Miek telah memasuki dunia tasawuf. Kedua, desakan Nyai Rodhiyah agar Gus Miek dibiarkan saja melakukan segala hal yang dikehendakinya. Karena Nyai Rodhiyah yakin bahwa Gus Miek sudah memiliki kelebihan sejak lahir. Ketiga, masukan dari beberapa Kyai yang memberikan pertimbangan dan petunjuk tentang keanehan Gus Miek. Dan keempat, bukti laporan dari beberapa santri yang mengasuh Gus Miek telah menuturkan ihwal kemampuan Gus Miek dalam memahami kitab. [25]
Keresahan KH. Djazuli akhirnya sedikit terobati, pada saat itu menjelang bulan ramadhan, KH. Mahrus Ali datang ke Ploso untuk mengambil Gus Miek agar belajar di Lirboyo dengan mengendarai mobil sedan. Namun, belum ada keterangan pasti pada tahun berapa Gus Miek masuk Lirboyo. Bila mengacu pada keterangan KH. Abdul Rouf yang pernah menjadi pelayan masak Gus Miek, sekitar 1956 /1957. Bila mengacu pada keterangan umum bahwa Gus Miek masuk Lirboyo lebih dahulu daripada ke Watu Congol, Nyai Dalhar menyatakan bahwa Gus Miek masuk Watu congol pada tahun1954, berarti Gus Miek masuk Lirboyo pada tahun 1953. Tetapi bila mengacu pada beberapa data, penulis mengambil kesimpulan bahwa Gus Miek masuk lirboyo pada tahun 1953. Tepi baru terlihat aktif sebagai seorang santri dan bergaul dengan para santri yang lain pada tahun 1956. Kesimpulan ini penulis ambil berdasarkan keterangan dari Nyai Dalhar dan keterangan dari KH. Hafidz, Tlogo Blitar, yang semasa dengan Gus Miek di Lirboyo.
Hanya 16 hari Gus Miek nyantri di Lirboyo, ia kemudian pulang. Sampai beberapa bulan berikutnya, dia tidak mau nyantri lagi. Hal ini membuat resah KH. Djazuli dan Nyai Radhiyah sekeluarga.[26] Hingga suatu hari, KH. Jazuli, Nyai Rodhiah dan Jahid berkumpul membicarakan Gus Miek, tentang kepulangan Gus Miek dari Lirboyo, mereka meresahkan masa depan Gus Miek.
Esoknya, Gus Miek benar-benar membuktikan ucapannya. Sambil membawa sejumlah kitab, ia mengambil alih pengajian Abahnya. Pagi hari, sesudah sholat Shubuh, beliau membaca di hadapan para santri Kitab Tahrir (kiab fiqih tingkat dasar), Fathul Muin (kitab fiqih tingkat menengah), dan Jam’ul Jawami’ (kitab Ushul fiqh yang terdiri dari dua jilid besar yang biasanya satu paket dengan kitab Uqudul Juman atau kitab sastra).
Sesudah sholat Dzuhur, beliau melanjutkan kitab pengajian Fathul Qorib (kitab fiqih tingkat menengah), Shohih Bukhori, Shohih Muslim. Sesudah sholat Maghrib, beliau membaca kitab Tafsir Jalalain, Kitab Iqna’, dan kitab Shoban. Sesudah sholat Isya’, Gus Miek mengkhatamkannya dengan membaca kitab Ihya’ Ulumuddin. [27]
Melihat semua itu, KH. Djazuli hanya bisa mengelus dada sekaligus bangga. Nyai Rodhiyah menyarankan kepada suaminya agar Gus Miek dibiarkan saja, karena beliau kini sudah bisa dipercaya untuk mengatur dirinya sendiri.
Setalah menunjukkan kemampuannya, beberapa bulan kemudian Gus Miek menjalankan perjalanan hidupnya dengan mondok di Lirboyo. Di sana, beliau satu kamar dengan Ustadz Ali Bakar. Kebiasaan tidur siang dan tidak tidur di malam hari kian membuatnya tersiksa. Sementara para santri yang lain tidak berani bergaul dengannya karena takut dengan Ustadz Ali Bakar. Bila Ustadz Ali bakar di kamar, Gus Miek duduk melamun di serambi masjid dengan menghadap ke utara. Dan, bila Ustadz Ali Bakar tidak di kamar, baru beliau tidur di kamar.[28]
Di pondok ini, beliau cukup rajin mengikuti pengajian. Tetapi, kebiasaan di Ploso belum dapat dihilangkannya. Saat santri lain sibuk belajar, beliau hanya tidur dan membiarkan kitabnya di atas meja dan baru bangun bila pelajaran telah usai. Meskipun demikian, bila sang guru mengajukan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan materi, Gus Miek selalu bisa menjawab dengan memuaskan.[29]
Di antara keanehan Gus Miek saat nyantri di Lirboyo adalah meletakkan kitab-kitabnya di atas geting kamarnya, membiarkan terkena panas dan hujan. Dan kalau beliau sudah tidur, tak seorangpun bisa dan berani membangunkannya sampai beliau bangun.[30]
Sesekali Gus Miek bermain ke kamar yang lain untuk merokok dan ngobrol bersama, lama-lama Gus Miek lebih kerasan di kamar lainnya daripada di kamarnya sendiri. Sejak saat itu, Gus Miek tampaknya mulai betah dan bisa menikmati hari-harinya di Lirboyo. Gus Miek mulai mengenal beberapa santri lebih dekat dan akrab. Hari-hari Gus Miek ketika mondok di Lirboyo lebih banyak digunakan untuk bepergian daripada tinggal di pondok. Orang yang paling dekat dengan Gus Miek semasa di Lirboyo adalah Abdulloh dari Magelang. Abdulloh sendiri sering disuruh untuk membeli rokok dan menemani Gus Miek kemanapun pergi. Barang kali karena keberadaan Abdulloh inilah yang bisa membuat Gus Miek mengenal daerah Magelang secara lebih luas. Sebab kebiasaan Gus Miek adalah mengunjungi rumah-rumah orang terdekatnya, sehingga beliau yang belum genap berusia 14 tahun itu sudah mengenal KH. Dalhar, Watucongol dan tokoh-tokoh besar lainnya.
 Orang besar pertama yang dekat dengan Gus Miek adalah KH. Mubasir Mundzir, yang sejak Gus Miek kecil selalu memperhatikan dan membelanya, dan ketika dewasa bahu-membahu dalam perjuangan, Gus Ud Pagerwojo dan KH. Hamid Pasuruan. Mbah Jogorekso Gunungpring, KH. Arwani Kudus, KH Asyhari Lempuyangan Yogyakarta Dan Mbah Benu Yogyakarta; semuanya adalah orang-orang yang masyhur sebagai wali.
C.  Karya Besar
            Perjuangan Gus Miek memahami identitas diri, mempelajari berbagai macam ilmu rohani tentang hidup dan kehidupan, tentang hakikat manusia dengan Tuhannya, serta jalan menuju Tuhan memang sangat panjang, dan kesemuanya itu beliau dapatkan dari orang-orang besar, para tokoh Wali dari segala penjuru tanah Jawa, serta para tokoh masyhur sebagai mursyid dengan segala karomahnya. Juga, Gus Miek telah mengenal berbagai tradisi Thoriqot yang ada dengan berbagai seluk beluk ajarannya. Akhirnya, Gus Miek pun memutuskan untuk meramu sendiri dari berbagai amalan yang telah ia dapatkan dari gurunya dan para tokoh berkaromah lainnya, menjadikan sebuah amalan yang dapat membawa umat kepada keridhoan Alloh.[31] Amalan ini dinamakan dengan lailiyah.[32]
      Amalan beliau adalah amalan yang tidak dipenuhi berbagai tata aturan yang rumit dan membelenggu para pengamalnya Lebih dari itu, amalan beliau juga bisa diterima dan dijalankan setiap orang yang selama ini dilihat, ditemui, dan terlebih lagi yang pernah akrab dengan Gus Miek. Mereka adalah kelompok pengamal yang beranggotakan orang-orang dari berbagai komunitas, seperti para santri, tukang becak, dan orang-orang yang masih suka judi dan meminum minuman keras. Dengan kata lain, sebagian dari mereka adalah dari kelompok orang-orang yang belum mengenal dan memahami agama secara mendalam.[33]
Di samping itu, amalan Gus Miek juga bisa diamalkan secara bersama-sama oleh umat dari berbagai latar belakang thoriqoh. Gus Miek pernah menyatakan bahwa salah satu alasan beliau mendirikan Jam’iyyah Lailiyyah adalah karena selama ini beliau menangis melihat berbagai perpecahan yang terjadi diantara pengikut thoriqoh. Oleh karena itu, beliau menciptakan ramuan amalan yang mampu mewadahi dan bisa dilaksanakan oleh berbagai pengikut tarekat dan berbagai kalangan umat, baik yang sudah ikut tarekat ataupun belum sama sekali. 
Dalam ramuan itu, Gus Miek mengajukan konsep dan pedoman hidup yang sangat sederhana dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu berkumpul dengan para wali dan orang-orang shaleh (sholihin), yang artinya sama saja dengan kecintaan dan mengharap surga. Sebab para wali dan orang- orang shaleh adalah kelompok orang yang dicintai Allah dan ahli surga sehingga dengan berkumpul bersama mereka juga berarti di dunia dicintai Allah dan di akhirat kelak akan masuk surga.[34]
Tepat pada 18 Desember 1962, Gus Miek mendeklarasikan model bagi pilihan dakwahnya di rumah M. Khozin, Kauman Tulungagung yang saat itu sedang mengadakan pesta perkawinan putrinya. Hadir saat itu KH. Mubasyir Mundzir, KH. Abdul Madjid Kedunglo, KH. Abdullah Umar Sumber Dlingo,KH. Jalil Bandar Kidul dan KH. Rahmat Zubair.[35]
Waktu telah larut malam, tetapi Gus Miek yang sejak sore  di dalam kamar masih tetap belum keluar. Semua masih menunggu dengan penuh tanda tanya mengenai apa yang akan disampaikan Gus Miek. Semua tokoh belum beranjak karena masih menuggu Gus Miek. Demikian juga para tamu undangan perkawinan malam itu.
Baru ketika jam menunjukkan tepat pukul 01.00, Gus Miek keluar kamar dengan hanya memakai kain sarung tanpa baju dan peci seperti baru selesai mandi. Gus Miek kemudian duduk menghadap kiblat dan semua undangan pun bersila di belakang Gus Miek. Semua terdiam menunggu selama hampir seperempat jam. Setelah suasana hening dan hampir tidak ada suara terdengar, Gus Miek mulai membaca hadharat-hadharat-nya (kiriman Fatihah). Sementara yang lain terus mengikuti. Hampir dua jam lamanya Gus Miek tetap dengan hadharat-hadharat-nya, yang kemudian dilanjutkan dengan istighfar, sholawat, dzikir-dzikir dan asma’ul husna. Acara ini baru selesai 03.00 pagi.
Setelah deklarasi di rumah M. Khozin, acara dzikir ini terus berlanjut hampir tiap malam. Biasanya dimulai setelah pukul 24.00 malam. Tokoh-tokoh yang mendukung Gus Miek saat ituadalah KH. Rahmat Zuber, Kiai Anis Ibrahim, Kiai Saidu, dan H. Khozin Ahmad.
Melihat perkembangan jam’iyah lailiyah yang bisa dikatakan sangat lambat, membuat gus Miek terus melakukan evaluasi atas berbagai permasalahan yang terkait dengan jam’iyyahnya itu. Hampir 13 tahun Gus Miek melakukan evaluasi itu sebelum kemudian merumuskan sesuatu  yang baru.
Setelah menemukan waktu dan jalan yang tepat, Gus Miek kemudian menugaskan KH. Ahmad Shidiq untuk memulai mencetak tulisan Gus Miek (Dzikrul Ghofilin). Proses berjalannya naskah dzikrul ghofilin hingga mencapai proses cetak ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, yakni dari 1971 sampai 1973.

D.  Makam Tambak
Makam Tambak yang diketemukan pada 1839, adalah makam yang dikeramatkan dan diziarahi sejumlah ulama’ Jawa Timur yang terkenal kewaliannya seperti KH. Raden Fatah, Mangunsari, Tulungagung dan KH. Mubasyir Mundzir, Bandar, Kediri. Gus Miek sejak usia dini, selalu mengunjunginya.
Begitu agung tokoh yang dimakamkan di Tambak, membuat Gus Miek terinspirasi untuk menggubah beberapa bait sya’ir untuk ketiga tokoh makam Tambak.
Gus Miek mulai mencoba mewujudkan impiannya membangun makam Tambak sebagaimana makam Sunan Ampel. Gus Miek sangat mengidolakan Sunan Ampel sehingga menjadikan kawasan Ampel sebagai salah satu posko utamanya di Surabaya. Hampir setiap akan memulai kegiatan, Gus Miek terlebih dahulu ziarah ke makam Sunan Ampel. Bila bepergianpun selalu menyempatkan diri mampir berziarah ke makam Sunan Ampel. Hal ini seolah Gus Miek memilikiikatan batin yang sangat kuat dengan makam Sunan Ampel.
Perlu dicatat bahwa Gus Miek, untuk mencapai impiannya, tidak pernah berharap akan mencapainya dalam sesaat. Tetapi, ia memulai fase-fase yang sangat panjang dan tertata rapi. Untuk mimpi tentang makam Tambak, Gus Miek telah memulai impiannya sejak berusia 6 tahun, dengan menziarahinya dalam upaya memperkenalkan dalam masyarakat luas akan kepeduliaannya kepada makam Tambak. Selain karena memenuhi ikatan bathiniyahnya dengan para wali paling tidak, Gus Miek juga telah mempelajari sosial budaya masyarakat sekitar untuk mendukung impiannya kelak.
Sesudah Dzikrul Ghofilin dicetak dan disebar luaskan, Gus Miek menyempatkan kembali ke Ploso, yang kebetulan saat itu lebaran ‘Idul Fitri. Spontan para santri Ploso mendaulat Gus Miek untuk menjadi khotib dalam sholat ‘Idul Fitri. Beberapa santri ditugaskan untuk mencari Gus Miek, tetapi tidak ditemukan karena Gus Miek telah berada di mushola Tambak untuk menjalankan sholat ‘Ied bersama penduduk sekitar makam. Begitu khutbah selesai dibaca oleh Pak Jito modin, Gus Miek telah berada di sebelah barat makam, mondar-mandir sambil berdzikir. Setelah itu, Gus Miek mampir ke rumah keluarga Shodiq untuk menerima warga yang ingin sungkem kepada Gus Miek.
Setelah tersusun sebuah gambaran yang pasti akan apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan impiannya, Gus Miek yang telah mencapai awal kebesarannya dengan Dzikrul Ghofilin kemudian memasuki Tambak secara terbuka bagi masyarakat Tambak pada 1974. Selanjutnya, menata orang-orang yang akan menjadi pelaksana dalam mewujudkan impiannya.
Gus Miek mulai memusatkan kegiatannya di makam Tambak sehingga makam Tambak lambat laun menjadi terkenal di kalangan pengikut dan tamu-tamu Gus Miek yang berasal dari berbagai lapisan sosial masyarakat. Bahkan orang sekaliber Gus Dur (KH. Abdurrohman Wahid) pun bila mencari Gus Miek sering di makam Tambak.
Ada sebuah cerita menarik mengenai Gus Dur dan Tambak ini. Saat itu, Gus Miek baru pulang dari Surabaya dan berpapasan dengan rombongan Gus Dur. Gus Dur yang memakai mobil segera mengejar Gus Miek, tetapui Gus Miek terus melaju dengan cepatnya melewati Pare. Sampai di Ploso, Gus Miek tidak berhenti, melainkan terus melaju ke Tambak. Baru, ketika telah sampai di Tambak, Gus Dur baru bisa menemui Gus Miek. Keduanya lalu duduk santai sambil asyik mengobrol.
“Gus, nanti kalau sudah meninggal di makamkan di sini saja ya, bersama saya. Saya di sini dan Gus di situ,” kata Gus Miek sambil menunjukkan letak tanah pemakaman.
“Wah kalau saya ikut yang hidup, terserah yang hidup, di Jakarta boleh, di Jombang boleh, di sini juga boleh,” jawab Gus Dur.[36]
Perlahan tapi pasti, makam ini kemudian menjadi tempat persinggahan terkhir orang-orang yang pernah dekat dengan Gus Miek seperti KH. Anis Ibrahim dan KH. Ahmad Shiddiq. Kemudian, sejak Gus Miek wafat dan di makamkan di makam ini, Tambak telah menjadi salah satu dari sekian makam para wali yang tidak pernah sepi dari peziarah dari berbagai penjuru tanah air.[37]

E.  Biarkan Aku Bertahkim Pada Jalanku[38]
             Dengan segala yang ditakdirkan untuk dirinyalah yang bisa membawanya untuk hidup di dua sisi yang bertentangan, hitam dan putih, maksiat dan kebenaran, pahala dan dosa dalam ukuran syari’at yang diajarkan para pendahulu dalam kitab-kitabnya. Oleh karena itu, ia selalu melarang keras pengikutnya mengikuti jalan hidupnya dan metode dakwahnya. Meniru jalan hidupnya adalah kesesatan dan kehancuran karena berani melewati batas kewenangan Tuhan dalam menentukan siapa yang seharusnya pantas melakukannya.[39]
      Memang , beliau tidak pernah berkata : jangan meniru jalan hidupku, jangan meniru bagaimana aku memenuhi kewajiban agamaku kepada Tuhanku, jangan meniru jalan dakwahku karena derajatmu di mata Tuhan tidak sepadan untuk menirukanku. Beliau tidak berkata seperti itu Karena hal itu bisa menjebaknya pada kehinaan dan kesombongan.
             Secara tersirat seolah-olah beliau ingin mengatakan : tirulah jalan hidup dan metode dakwahku sebatas derajat kehambaanmu dimata tuhanmu, sebatas yang aku ajarkan kepadamu. Jangan mencoba membongkar kerahasianku dengan tuhanku karena disana menganga jurang kehancuran dan kehinaan

F.  Sang wali telah pergi, tapi perjuangan tak pernah berhenti
             Sabtu, 5 Juni 1993, beliau telah memenuhi mimpi terakhirnya, bertemu dan selalu bersama dengan tuhannya tanpa adanya belenggu daging dan darah.
             Ahad, 6 Juni 1993, ratusan ribu jama’ah menyaksikan pembuktian kebenarannya sebagai sang wali di dunia ini. Di sepanjang jalan menuju pemakaman, dibanjiri oleh orang-orang yang ingin mensholati jenazahnya, terhitung hingga 98 kali sholat jenazah.
      Dimanapun jenazah Gus Miek dibawa, maka diwilayah iut terjadi hujan, padahal matahari sedang terik-teriknya. Terbukti, ketika jenazah Gus Miek masih di Surabaya, di Surabaya terjadi hujan. Ketika jenazah Gus Miek di ploso, di ploso terjadi hujan. Demikian juga ketika berada di tambak. Bahkan ketika jenazah Gus Miek  dikuburkan, terjadi petir yang membahana dan terlihat awan bergulung di atas pemakaman Gus Miek, seolah merupakan tangga para malaikat yang ingin menghadiri pemakaman Gus Miek sekaligus sebagai saksi bahwa Gus Miek adalah seorang wali.
             H. Afifudin, Mojosari, Tulung Agung, menjadi teringat pada dawuh KH. Mubasyir Mundir beberapa tahun sebelumnya : “ingat-ingatlah Fif, dimana ada seseorang meninggal dan terjadi hujan, dibawa kemanapun, tempat yang dilewati dan disinggahi itu ada hujan, dan ketika pemakaman, lihatlah ke atas pemakaman, bila terlihat awan bergulung lurus keatas,  maka aku bersaksi kepadamu bahwa orang itu adalah waliyulloh yang agung.  

Ila hadhroti syayikhina Kyai Hamim Jazuli (Gus Miek),
al- Fatihah….


SUNAN KALIJAGA

Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. 
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.

A.   Diusir Dari Kadipaten
     Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk
agama Islam.
            Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.
            Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktik oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata. Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
      Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.
            Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahami posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al Qur’an maka sekarang dia keluar rumah.
       Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
       Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walaupun mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, sebab Raden Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.
       Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan
Majapahit itu makin berkurang.
            Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
            Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri.
       Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kawatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
       Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga orang prajurit Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya.
       Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu.
            Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya?
            Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya?
            Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang.
            Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
            Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga.
       Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat Isya’ mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok.
       Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik.
       Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu.
       Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namum pemimpin rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan dipukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam.
       Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.
       Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Raden Said yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.
            “Pergi dari Kadipaten Tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri! Pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al Qur’an yang sering kau baca di malam hari!”
            Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala harapan sang Adipati.
            Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said, yang yakin bahwa Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.
            Mencari Guru Sejati Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.
       Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat.
            Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.
       Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
       Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas.
            Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu,”Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan”.
            “Bukan tongkat ini yang kutangisi,” ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi”.
            “Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?”, tanya Raden Said heran. “Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!”, jawab lelaki itu.
            Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu. “Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?” “Saya menginginkan harta”, “Untuk apa?” “Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita”. “Hem, sungguh mulia hatimu, sayang… caramu mendapatkannya yang keliru” “Orang tua… apa maksudmu?” “Boleh aku bertanya anak muda?”, desah orang tua itu. “Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya menambah kotor dan bau pakaian itu saja”.
       Lelaki itu tersenyum. “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing”.
            Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya,”Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal”.
       Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya.
Betapa keliru perbuatannya selama ini.
            Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki   berjubah putih itu.
            “Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat saat itu. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau berubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya!”.
            Raden Said makin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini. “Kalau kau mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!”
       Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
            Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap masih menjadi emas. Berarti orang itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran dan penasaran. Ilmu apakah yang telah dipergunakan orang itu sehingga mampu merubah pohon aren menjadi emas?
       Selama beberapa saat Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
       Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau seperti aren-aren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.
       Ucapan orang tua itu masih terngiang di telinganya. Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
       Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan.
       Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di belakang lelaki berjubah putih itu.
            Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang.
       “tunggu… “, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi. “Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid…”, pintanya. “Menjadi muridku?”, tanya orang itu. “Mau belajar apa?” “Apa saja asal Tuan menerima saya sebagai murid…” “Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya?” “Saya bersedia…”
            Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki itu kembali menemuinya. Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
       Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja golongan para wali.
       Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al Qur’an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam.
            Doanya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
            Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan azan, pemuda itu membuka sepasang matanya.
            Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban? Karena Lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya, yaitu tingkat para waliullah. Di kemudian hari Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga.
       Kalijaga artinya yang menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup di masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
            Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai penunjuk jalan kehidupan.
            Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.
       Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan sedikit pun ia tak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.

       Kerinduan Seorang Ibu Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said
 seketika berguncang.
       Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang persis dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
       Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang Ibu tak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.
       Untuk mengobati kerinduan sang Ibu. Tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke
 istana Tuban.
       Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan isterinya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan isterinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat dicintainya itu.
       Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya, akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
       Raden Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan Islam di Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai Guru se Tanah Jawa. Dari petani, pejabat, pedagang, bangsawan dan raja-raja dapat menerima ajaran Sunan Kalijaga yang berciri khas Jawa namun tetap Islami. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangannya diterima di sisi Allah. Amin.
       Sunan Bayat dan Syekh Domba (Murid Sunan Kalijaga) Murid-murid Sunan Kalijaga banyak sekali, seperti Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki Ageng Sela, Empu Supa, dan lain-lain. Di sini kami kisahkan tentang Sunan  Bayat dan Syekh Domba.
       Bupati Semarang pada waktu itu bernama Ki Pandhanarang. Ia terkenal sebagai seorang bupati yang kaya raya. Disamping sehari-harinya dikenal sebagai seorang bupati, ia juga berbakat sebagai seorang pedagang. Nah, karena mentalnya mental pedagang maka dia suka keluyuran keluar masuk pasar setiap pagi.
       Ia pandai mengambil keuntungan dari setiap usahanya. Ia berdagang emas, intan, permata hingga sapi, kerbau, dan kambing. Kekayaannya pada saat itu sungguh diatas rata-rata kekayaan pejabat. Istrinya banyak, anaknya banyak dan relasinya juga banyak sehingga kedudukannya luar biasa kuatnya. Tak ada seorang pun yang mampu menggoyangkannya bahkan pejabat di tingkat pusat sekalipun. Sayang ada satu sifatnya yang tak baik yaitu kikirnya setengah mati, kikir alias bakhil alias cethil
 bin medhit!.
       Ia mempunyai beberapa kendaraan bagus dan jempolan. Pada jaman sekarang bisa sekelas Jaguar, Mercedes, Ferrari, ataupun BMW, namun pada saat itu adalah seekor kuda terbaik dari Sumbawa. Nah, karena kuda dan sapinya banyak maka tiap pagi ia membutuhkan berkarung-karung rumput segar untuk santapan kuda dan sapinya.
       Suatu ketika di musim kemarau, para pegawainya yang bertugas mencari rumput agak terlambat menyediakan santapan kudanya. Nah, pada saat itu datanglah seorang penjual rumput memasuki halaman rumahnya. Umumnya pada waktu itu sepikul rumput berharga dua puluh lima ketheng. Tapi ia menawarnya dengan harga lima belas ketheng. Anehnya tanpa berbelit-belit penjual rumput itu memberikannya begitu saja.
       Esoknya penjual rumput bercaping lebar itu datang lagi. Kali ini ia datang lebih pagi dengan membawa rumput yang lebih segar dari kemarin. Bertanya Ki Pandhanarang,”Pak Tua, sepagi ini kau sudah membawa rumput sesegar ini. Darimana kau memperolehnya?”. “Dari Gunung Jabalkat, Tuan…”, jawab si penjual rumput.
       Ki Pandhanarang merasa heran, sebab Gunung Jabalkat adalah tempat yang sangat jauh sekali. Setelah rumput itu dibayar seperti harga kemarin orang itu tidak
segera beranjak pergi.
       “Hei Pak Tua, apalagi yang kau tunggu?”. “Hamba ingin minta sedekah Tuan”. Ki Pandhanarang merogoh sakunya, tanpa menoleh ia lemparkan seketheng di hadapan kaki si penjual rumput lalu ia beranjak pergi. Tapi si penjual rumput buru-buru maju menghadang. “Hamba tidak minta sedekah uang, yang hamba minta adalah bedhug berbunyi di Semarang”.
       Ki Pandhanarang mendelik penasaran. Minta bedhug berbunyi di Semarang? Itu sama halnya dengan permintaan mendirikan Masjid, dan menyebarkan agama Islam di Semarang. Ah, jangankan berdakwah wong shalat lima waktu saja sudah enggan melaksanakannya.
       “Kau jangan minta yang aneh-aneh Pak Tua. Sudah ambil uang itu dan cepat pergi dari sini”. “Hamba tidak butuh uang. Dapatkah uang dan harta menjamin keselamatan kita di akhirat kelak?”. Ki Pandhanarang merah wajahnya pertanda marah. “Hai Pak Tua! Jangan menyepelekan uang dan harta. Dengan uang dan harta itulah seseorang terangkat derajatnya dan dihormati semua orang”.
       Dengan beraninya penjual rumput itu berkata,”Hamba kira tidak! Justru orang yang menjadi budak uang dan harta akan menjadi orang yang hina dina dan tidak berbudi pekerti karena terbiasa menghalalkan segala cara!”
       “Pak tua! Bicaramu makin tak karuan, apakah dengan pekerjaanmu sebagai penjual rumput itu kau merasa mulia. Apakah segala kebutuhan hidupmu, anak istrimu tercukupi?”
       “Soal harta dan kebutuhan hidup hamba selalu ikhlas terhadap apa yang diberikan Tuhan. Kalau Cuma menginginkan emas permata, sekali cangkul hamba bisa setiap saat mengeruknya dari dalam tanah”
       “huh! Omonganmu semakin sombong saja pak Tua! Coba buktikan omong besarmu itu! Jika memang terbukti aku akan berguru kepadamu, namun jika kau hanya berkoar atau main sulap maka kau akan kuhukum dengan hukuman seberat-beratnya!”
       Ki Pandhanarang lalu menyuruh pembantunya mengambil cangkul dan diberikan kepada si penjual rumput. “Hayo! Buktikan ucapanmu!”
       Dengan tenang penjual rumput itu menerima cangkul. Lalu diayunkannya pelan, dan ketika ditarik dari dalam tanah keluarlah bongkahan emas permata. Semua orang terbelalak takjub melihat kejadian itu. Ki Pandhanarang yang mata duitan itu berdiri terpaku di tempatnya sampai-sampai ia tak menyadari lelaki penjual rumput itu
sudah pergi meninggalkan halaman rumahnya.
       Ki Pandhanarang baru sadar bahwa ia berhadapan dengan orang berilmu tinggi. Maka segera dikejarnya kemana orang itu pergi. Sebagai seorang lelaki ia ingin memenuhi janjinya untuk berguru kepada si penjual rumput. Setelah mengerahkan segenap tenaganya barulah is berhasil menyusul lelaki penjual rumput itu.
       “Buat apa kau menyusulku? Masih kurangkah bongkahan emas permata tadi bagimu?” tegur si penual rumput itu. “Bukan, bukan untuk itu saya kemari”. “Lalu apa maumu?” “Saya ingin berguru kepada Tuan” “Berguru? Mau berguru apa, menimbun uang dan harta?”. “Bukan! Saya ingin memperdalam agama Islam sehingga nantinya dapat saya gunakan untuk membimbing rakyat Semarang”. “Jadi kau mau memenuhi permintaanku untuk membunyikan bedhug di Semarang?”. “Benar Tuan!”. “Berkorban dengan segala harta dan jiwa?”. “Saya bersedia…”. “Kalau begitu kau harus menjalankan ibadah selama hidupmu, jangan sampai teledor menegakkan shalat lima waktu. Kau harus beramal, dirikan masjid dan memberikan hartamu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya. Jangan sekali-kali kau terpikat oleh harta kecuali hanya sekedarnya saja sebagai bekal ibadah. Orang berguru itu harus meninggalkan rumah, maka jika segala hal yang kupesan tadi sudah kau laksanakan segeralah kau susul aku ke Gunung Jabalkat”.
       “Wahai Tuan yang arif dan bijaksana. Ijinkanlah saya mengetahui siapakah gerangan Tuan ini sesungguhnya?” “Aku adalah Sunan Kalijaga yang diperintah para dewan wali untuk mengajakmu bergabung sebagai anggota Walisongo, menggantikan Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati”.
       Mendengar nama besar Sunan Kalijaga serta merta Ki Pandhanarang berlutut untuk menghormat, namun seketika itu juga Sunan Kalijaga lenyap dari pandangan matanya.
       Ki Pandhanarang pulang ke rumahnya. Kini ia berubah total. Dulu pelit sekarang menjadi dermawan sekali. Suka bersedekah. Ia juga yang memprakarsai dan menanggung biaya untuk pembangunan masjid di Semarang. Ia juga yang memilih kayu terbaik beserta kulit sapi yang sangat bagus untuk digunakan sebagai bedhug.
       Ia membayar zakat sebagaimana keharusannya setiap muslim yang diwajibkan. Ia menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Semua itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah. Bukan sekedar untuk publikasi agar namanya terkenal. Setelah tiba saatnya ia bermaksud menyusul Sunan Kalijaga di Gunung Jabalkat.
       Salah seorang dari istrinya memaksa hendak ikut ke Gunung Jabalkat mendampingi dirinya. “Baiklah, kau boleh ikut tapi jangan membawa harta. Itulah pesan guruku, harta hanya menjadi penghalang bagi tujuan luhur cita-cita kita”.
       Keduanya lalu berpakaian serba putih. Keduanya berjalan kaki ke Gunung Jabalkat. Ki Pandhanarang berjalan di muka dengan membawa tongkat biasa. Istrinya berjalan di belakang dengan membawa tongkat bambu yang di dalam lubangnya diisi dengan emas dan permata.
       Ki Pandhanarang yang berjalan di depan dicegat kawanan rampok, namun karena ia tidak membawa harta ia segera dilepaskan begitu saja. Sebaliknya, Nyai Pandhanarang dicegat tiga perampok. Tongkatnya dirampas, isinya dikeluarkan dan dijadikan rebutan. Tiga perampok itu bersorak kegirangan setelah mendapat emas dan permata milik Nyai Pandhanarang. Sementara Nyai Pandhanarang menangis tersedu-sedu. Ia berteriak-teriak memanggil suaminya yang berjalan jauh di depan.
       “Kakangmas…! Apakah kau sudah lupa pada istrimu? Ini ada orang tiga berbuat salah”. Konon karena peristiwa itulah, kini tempat kejadian itu dinamakan SALATIGA.
       Akhirnya Nyai Pandhanarang dapat menyusul suaminya. Suaminya tidak kaget mendengar penuturan istrinya karena ia sudah tahu bahwa sejak berangkat dari rumah, istrinya memang membawa emas dan permata. “Itulah, kau tidak mematuhi saran guruku. Harta hanya menjadi penghalang tujuan luhur kita. Sekarang kauberjalanlah di muka”.
       Nyai Pandhanarang kemudian berjalan di muka. Tidak berapa lama kemudian Ki Pandhanarang dicegat seorang perampok yang dikenal sebagai Ki Sambangdalan. “Serahkan hartamu atau kau akan kuhajar hingga babak belur!?”, demikian ancam Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!” jawab Ki Pandhanarang. Perampok itu tidak percaya, kemudian ia merampas tongkat Ki Pandhanarang. Tentu saja tongkat itu tidak ada emasnya karena hanya terbuat dari kayu biasa. “Dimana kau sembunyikan hartamu?” hardik Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”, jawab Ki Pandhanarang sambil terus melangkah. Anehnya Ki Sambangdalan membiarkan saja korbannya berjalan. Ia hanya berani mengancam saja tapi tidak berani memukuli Ki Pandhanarang.
       Ki Sambangdalan terus mengikuti kemana Ki Pandhanarang berjalan sambil terus mengeluarkan ancaman. Lama-lama Ki Pandhanarang bosan dan risih mendengar ancaman Ki Sambangdalan. Maka ia berkata,”Kau ini bengal, keras kepala seperti domba saja!”
       Aneh, seketika kepala Ki Sambangdalan berubah menjadi kepala seekor domba atau kambing. Tapi ia tidak menyadarinya. Ia terus mengukuti kemana Ki Pandhanarang pergi. Suatu ketika keduanya sampai di tepi sungai. Melihat air Ki Sambangdalan merasa risih, ia takut terkena basah, lalu ia melihat bayangannya sendiri di air jernih maka menjeritlah ia. “Waduuuuhhh! Ampuuuuuuun, mengapa kepalaku berubah menjadi domba??”. “Itu karena kesalahanmu sendiri”, ujar Ki Pandhanarang. “Kembalikan ujud kepalaku seperti semula…”, pinta Ki Sambangdalan. Ki Pandhanarang tidak menjawab. Ki Sambangdalan menjadi takut, maka ia terus ikut kemanapun Ki Pandhanarang pergi. Perjalanan pun sampai di tempat tujuan, yaitu Gunung Jabalkat. Tapi pada saat itu Sunan Kalijaga sedang berdakwah ke luar daerah. Ki Pandhanarang berujar bahwa jika Ki Sambangdalan ingin menjadi manusia normal kembali, maka ia harus bertirakat dan bertobat. Untuk menebus dosanya Ki Sambangdalan harus mengisi jun (padasan) dengan air dibawah bukit. Jun itu tidak tertutup sehingga apabila Ki Sambangdalan sampai di atas bukit airnya sudah habis. Tapi karena ingin kepalanya kembali seperti semula maka ia tidak putus asa, tiap hari dilakukannya pekerjaan itu sambil beristighfar, tobat minta ampun kepada Tuhan.
       Pada suatu hari Sunan Kalijaga datang ke tempat itu. Mereka bertiga segera duduk bersimpuh. Secara ajaib kepala Ki Sambangdalan kembali seperti ke ujud semula. Jun tempat wudhu tiba-tiba penuh dengan air tanpa ada yang mengisinya. Ketiga orang itu akhirnya belajar dengan tekun ilmu syariat dan hakikat agama Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga yang diberi gelar Guru se-Tanah Jawa.
       Akhirnya mereka dapat mencapai tataran yang tinggi berkat ketekunan dan kesabarannya. Ki Pandhanarang menjadi seorang wali dan disebut dengan gelar Sunan Bayat karena menyebarkan agama Islam di daerah Bayat. Sementara Ki Sambangdalan juga menjadi seorang wali dan disebut sebagai Syekh Domba karena kepalanya pernah menjadi domba.
       Sunan Kalijaga memang sengaja menyadarkan Bupati Semarang tersebut untuk menjadi pengganti Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati karena dianggap sesat dan berlawanan dengan ajaran Walisongo. Setelah menjadi wali Ki Pandhanarang atau Sunan Bayat mempunyai beberapa karomah, diantaranya adalah pada suatu ketika ia menyamar sebagai pelayan tukang pembuat kue srabi. Ikut berdagang ke pasar sambil membawakan kayu bakar. Pada suatu hari pasar sangat ramai banyak orang membeli kue srabi, karena laris kayunya habis. Majikannya marah-marah karena Sunan Bayat tidak membawa kayu yang banyak sehingga tidak cukup digunakan melayani para pembeli.
       “Kau teledor! Sekarang bagaimana? Apakah tanganmu itu dapat kau gunakan sebagai pengganti kayu bakar?”, hardik si majikan.
       Tanpa pikir panjang lagi Sunan Bayat memasukkan tangannya ke dalam tungku dapur dan tangan itu menyala-nyala mengeluarkan api. Gemparlah hari itu. Banyak orang melihat dengan kepala mata mereka sendiri, tangan Sunan Bayat yang masuk ke dalam tungku itu mengeluarkan api. Dan banyak pula orang yang membeli kue srabi.
       Setelah tahu bahwa pelayannya adalah Sunan Bayat mantan bupati Semarang maka penjual kue srabi itu minta ampun berkali-kali, akhirnya suami istri penjual kue srabi itu menjadi pengikut Sunan Bayat yang setia.



Ila hadhroti syayikhina Sunan Kali jaga, Magelang
al- Fatihah….













KH. DALHAR, MUTILAN, MAGELANG

Kelahiran & Nasabnya Mbah Kyai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam,  Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda'i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan, Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika beliau hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis – habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure – figure yang dapat membantu perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad dimasyarakat. Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.
Pesantren Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga dieser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol. Adapun kisah ini ada uraiannya secara tersendiri.
Ta'lim dan rihlahnyaMbah Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak – kanaknya, beliau belajar Al-Qur'an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kyai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah dari Salaman, mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya, mbah Kyai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma'ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayah beliau sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta'dziman mbah Kyai Dalhar pada gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahib beliau yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi'iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa'id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kyai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta'dzimnya mbah Kyai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kyai Dalhar.
Subhanallah.
Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu.
Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama "Dalhar" pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.  Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai "Dalhar". Allahu Akbar.
Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di Jawa.
Riyadhah dan amaliahnyaMbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup 'alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr 'ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.
Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
            Karamahnya Sebagai seorang auliyaillah, mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah. Diantara karamah yang dimiliki oleh beliau ialah : Suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara Mengetahui makam – makam auliyaillah yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar dimana beliau – beliau tersebut pernah bertempat tinggal.Dll
   Karya – karyanya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma'ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan 'Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Murid – muridnyaBanyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo.dll.
WafatnyaSesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. Menurut kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai Dalhar), yang benar mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.
Demikianlah manaqib singkat yang sebenarnya ditulis semoga menjadikan faham pada semua pihak. Penulis adalah cucu dari Mbah Kyai Dalhar dari jalur ibu. Adapun nasabnya yang sampai pada beliau dengan tartib adalah ibu penulis sendiri bernama Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.

Ila hadhroti syayikhina KH. Dalhar,Mutilan, Magelang
al- Fatihah….




KH. ABDURRAHMAN WAKHID (GUSDUR)
JOMBANG

KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, merupakan salah satu tokoh besar Indonesia bahkan dunia, di akhir abad ke-20. Hampir semua kalangan mengenalnya. Beliau seorang intelektual, budayawan, pemikir, dan cendikiawan yang mempunyai reputasi internasional. Presiden pertama dari kalangan pesantren.

A.  Kelahiran dan Pendidikan
Gus Dur lahir di Denanyar, Jombang Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940. Dengan nama kecil Abdurrahman Ad-Dakhil. Di adalah putra pertama dari 6 bersaudara pasangan KH.Wahid Hasyim dengan Nyai Hj. Sholehah.[40]
Ada versi lain terkait dengan kelahiran Gus Dur. Beliau memang dilahirkan pada hari ke-4 bulan kedelapan, akan tetapi tanggal itu menurut kalender Islam. Hal ini berarti, beliau dilahirkan pada tanggal 4 Sya’ban 1359 H, yang tepatnya tanggal 7 September 1940, bukan 4 Agustus.[41]
Berdasarkan silsilah keluarga Gus Dur memiliki darah Tiong Hoa, yakni dari keturunan Tan Kim Han, yang menikah dengan Tan Alok dan Tan eng Hua, merupakan anak dari putri Campa, putri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[42]
Sejak kecil Gus Dur dididik oleh sang Kakek , KH. Hasyim Asy’ari mengaji dan telah lancar membaca al-Quran pada usia 5 tahun. Pada saat ayahnya pindah ke Jakarta, Gus Dur masuk SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Pada saat yang sama, beliau juga mengikutri les privat bahasa Belanda di bawah bimbingan Wiliam Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam.  Ketika telah berada di Jakarta kakeknya dari pihak ibu, KH. Bisri Samsuri, juga sering mengajari ilmu agama.
Menjelang kelulusannya dari Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba menulis se-wilayah Kota Jakarta. Setelah lulus, Gus Dur belajar ke Yogyakarta dan masuk  SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan tahun 1953, sambil mondok di PP. Krapyak asuhan KH. Ali Ma’sum. Setamat dari SMEP, Gus Dur melanjutkan belajarnya ke Pesantren Tegal Rejo Magelang, asuhan KH. Chudhori , yang memperkenalkan Gus Dur dengan situs-situs sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik.[43] Dari tegal rejo, Gus Dur kemudian pindah kembali ke Jombang. Dan tinggal di Pondok Pesantren Tambak Beras, yang diasuh pamannya, KH. Abdul Fatah. Gus Dur menjadi ustadz dan ketua keamanan.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci untuk menunaikan haji dan diterukan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas Al Azhar. Tahun 1966, sebelum tamat dari Al Azhar, Gus Dur pindah ke Irak, dan masuk pada Departemen of Religion di Universitas Baghdad sampai tahun 1970. Di luar jam kuliah, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam para wali termasuk makam Syaikh Abdul Qodir al-Jailani dan Imam Junaid al-Baghdadi.
Selepas dari Baghdad, Gus Dur menjadi pelajar keliling dari satu universitas ke universitas lain di Eropa. Pada akhirnya, beliau menetap di Belanda selama 6 bulan dan mendirikan perkumpulan pelajar muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk mencukupi biaya hidup, 2 kali sebulan Gus Dur pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke MC Bill University di Canada untuk mempelajari kajian-kajian keislaman. Gus Dur kembali ke Indonesia pada tahun 1971.[44]

B.  Penghargaan Gus Dur
Berkat jasa-jasa beliau, Gus Dur memperoleh banyak sekali penghargaan, baik di tingkat nasional maupun internassional, yakni gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) di bidang Humanitarium, pluralisme, perdamaian dan demokrasi dari berbagai lembaga pendidikan di antaranya:
1.    Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru Univercity, India (2000),
2.   Doktor Kehormatan dari Twente Unvercity, Belanda (2000),
3.   Doktor Kehormatan bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan managemen, dan ilmu humaniora dari pantheon sorborne Univercity, Paris Perancis (2000),
4.   Doktor Kehormatan bidang filsafat hukum dari Thammasart Univercity, Bangkok Tailand (2000),
5.   Doktor Kehormatan Chulalongkorn Univercity, Bangkok Tailand (2000),
6.   Doktor Kehormatan Asian Institut of Technology, Bangkok Tailand (2000),
7.   Doktor Kehormatan dari Soka Bakkai Univercity, Tokyo Jepang (2002),
8.   Doktor Kehormatan bidang kemanusiaan dari Netanya Univercity, Israel (2003),
9.   Doktor Kehormatan bidang hukum dari Konkuk Univercity, Seoul Korea Selatan (2003),
10.  Doktor Kehormatan dari Sun Moon Univercity, Seoul Korea Selatan (2003).

Penghargaan-penghargaan lainnya:
1.    Penghargaan da’wah Islam dari Pemerintah Mesir, (1991),
2.   Penghargaan Magsaysay dari  Pemerintah Piliphina, atas usahanya mengembangkan hubungan antaragama di Indonesia.
3.   Bapak Tiong Hoa Indonesia, tahun 2004
4.   Pejuang Kebebasan Pers.[45]

C.  Karya-karya Gus Dur
Selain menulis artikel, Gus Dur juga banyak menulis buku. Di antaranya adalah:
1.    Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Buku ini telah diminta untuk dialih bahasakan ke dalam tujuh bahasa, yaitu Jerman, Belanda, Perancis, Inggris, Jepang, Korea dan China.
2.   Bunga Rampai Pesantren. (Jakarta: Darma Bakti, 1979)
3.   Muslim di Tengah Pergumulan. (Jakarta: Leppenas, 1981)
4.   Nahdlotul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa ini. (Prisma,nomor 4, 1984, English Translation, in Taufiq Abdullah end Sharon Shiddique(eds), Islam and Society in South East Asia, ISEAS, Singapore, 1986)
5.   Masa Islam dalam kehidupan Bernegara dan Berbangsa. (Prisma, nomor 13, 1984, English Translation in Prisma-The Indonesian indicator, nomor 35, 1985)
6.   K. Bisri Syansuri. Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat (Jakarta: Majalah Amanah, 1989)
7.   Islam, Politics and Democracy in the 1950s and 1990s (in D. Bourchier and J. Legge(eds), Democracy in Indonesia, 1950s and 1990s, Centre of South East Asian Studies, Monash Univercity, Clayton, 1994)[46]




D.  Karomah Gus Dur
Sebagaimana banyak diketahui, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tidak bisa dilepaskan dari dunia spiritual. Banyak kejadian yang tidak terjangkuan pikiran manusia kebanyakan dilakukan Presiden RI ke-4 waktu itu. Di antara  karomah-karomah Gus Dur yaitu:
1.    Gus Dur pernah didatangi KH. Hasyim Asy’ari yang memberitahukan bahwa bulan oktober ini, beliau akan menjadi Presiden dan ternyata terbukti.
2.   Delapan bulan sebelum jadi Presiden, Gus Dur memberi tahu Irwan David Helanta (mantan tentara dan alumnus ITB) bahwa beliau akan menjadi Presiden.
3.   Setahun sebelum jatuhnya Soeharto, Gus Dur mengatakan dengan yakin, bahwa sang Presiden Soeharto akan segera jatuh.
4.   Gus Dur mempunyai kemampuan ekstra-sensory perception yakni kemampuan seseorang untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang akan datang.
5.   Gus Dur sering kali menyampaikan informasi-informasi ghaib yang sering kali terbukti.[47]

E.  Wafat Gus Dur ( 30 Desember 2009)
Pada tanggal 14 Desember 2009, Gus Dur mengadakan kunjungan ke Jombang, ke Pondok Tambak Beras, Denanyar dan Tebu Ireng. Kemudian ke pondok Mamba’ul Ma’arif yakni ke makam kakeknya KH. Bisri Syansuri dilanjutkan ke makam kerabat Gus Dur di Pon. Pes Bahrul Ulum, Gus Dur jatuh sakit dan dilarikan ke RSUD Suradana Jombang, atas permintaan keluarga, Gus Dur di pindah ke RSU Dr. Soetomo Surabaya. Dalam perjalanannya ke Surabaya, sesampainya di Trowulan Mojokerto, Gus Dur minta kembali ke Jombang karena dia belum berziarah ke makam ayahnya KH. Abdul Wahid Hasyim dan kakeknya Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim, Asy’ari kemudian baru kembali ke Surabaya lagi.[48]
Tanggal 25 Desember 2009, Gus Dur diterbangkan ke Jakarta dan akan dirawat di rumah sakait Cipto Mangun Kusumo (RSCM). Tiba di RSCM dilakukan cuci darah dan ekstraksi gigi. Tanggal 29 desember dilakukan cuci darah lagi. Tanggal 30 Desember 2009, Gus Dur baik-baik saja tetapi pukul 11.30 WIB, Gus Dur mengeluh sakit hebat dan ternyata ditemukan sumbatan total di pinggul kanan dan bagian kiri. Pada pukul 14.40-15.08 WIB, tim dokter melakukan ortografi dan ditemukan ada sumbatan total dipembuluh darah besar sampai pada percabangan alternatif pinggul kiri dan kanan.
Pada pukul 18.25 WIB tanggal 30 Desember 2009, Presiden SBY tiba dan menemui keluarga kira-kira 20 meter dari ruang  tindakan tapi tidak masuk didampingi Istri Gus Dur dan menantunya. Pukul 18.30 WIB, Presiden SBY menjauhi ruang tindakan dan berbicara dengan tim dokter seta menkes, akhirnya pukul 18.45 WIB, tanggal 30 Desember 2009, Gus Dur dinyatakan meninggal dunia. Innaalillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.[49]

Ila hadhroti syayikhina KH. Abdurrahman Wachid,,
al- Fatihah….



MBAH SAYYID SULAIMAN
MOJO AGUNG, JOMBANG

Perjuangan Sayyid Sulaiman bin Abdurrahman Basyaiban dalam membabat kawasan timur pulau Jawa menjadi daerah yang sarat dengan nilai-nilai religius sudah tidak disangsikan lagi. Hasil jerih payahnya masih dapat kita saksikan sampai sekarang.

Sang Pembabat Kawasan Timur Pulau Jawa
Sekitar pertengahan abad ke-16 M tersebutlah seorang pemuda gagah berdarah Arab di pinggir laut Jawa, Cirebon. Selama beberapa bulan, ia berlayar dari kampung halamannya di negara Yaman. Saat itu memang sedang gencar-gencarnya orang-orang Arab berimigrasi ke Tanah Jawa. Dan salah satu dari mereka adalah Abdurrahman Basyaiban.
Basyaiban adalah marga habib keturunan Sayyid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkemuka di Tarim, Hadhramaut (Yaman) yang terkenal alim dan sakti. Sayyid Abu Bakar mendapat julukan Syaiban (yang beruban) karena ada kisah unik dibalik julukan itu. Suatu ketika, Sayyid Abu Bakar yang saat itu masih tergolong muda menghilang. Sejak itu ia tidak muncul-muncul. Konon, ia uzlah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Baru, setelah tiga puluh tahun, Sayyid Abu Bakar muncul di Tarim. Anehnya, ia tetap muda. Tapi yang lebih aneh lagi, rambutnya telah berubah putih keperakan, tak sehelai rambutnya yang berwarna hitam. Kepalanya seperti berambut salju. Sejak ituah orang-orang menjulukinya Syaiban (yang beruban).
Abdurrahman masih tergolong cicit dari Sayyid Abu Bakar Basyaiban. Beliau putra sulung Sayyid Umar bin Muhammad bin Abu Bakar Basyaiban. Lahir pada abad ke-16 M di Tarim, Yaman bagian selatan sebuah perkampungan sejuk di Hadhramaut yang masyhur sebagai gudang para auliya’ Allah.
Ketika dewasa ia merantau ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa. Sayyid Abdurrahman memilih tempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian beliau mempersunting putri Maulana Sultan Hasanuddin, Demak. Putri bangsawan itu juga masih keturunan Rasulullah. Beliau bernama Syarifah Khadijah dan masih cucu Raden Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati.
Dari pasangan ini lahir tiga putra, yakni Sayyid Sulaiman, Sayyid Abdurrahim dan Sayyid Abdul Karim. Mewarisi keturunan leluhurnya dalam berdakwah, keluarga ini berjuang keras menyebarkan Islam di Jawa, tak jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati di Cirebon.
Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah membuat penjajah Belanda khawatir. Maka ketika menginjak dewasa Sayyid Sulaiman dibuang oleh mereka. Ia kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan Jawa Tengah. Di Pekalongan, ia menikah dan mempunyai beberapa orang putra. Empat diantaranya laki-laki yakni Sayyid Hasan, Sayyid Abdul Wahhab, Sayyid Muhammad Baqir dan Sayyid Ali Akbar.
Dari Pekalongan, Sayyid Sulaiman berkelana lagi. Kali ini, beliau menuju Solo sebagai tempat tujuan berdakwah. Selama di Solo, beliau terkenal sakti mandraguna. Kesaktiannya yang sudah masyhur itu mengundang rasa iri seorang ratu dari Mataram. Sang ratu ingin membuktikan kesaktian Sayyid Sulaiman. Maka diundanglah ke keraton Mataram yang saat itu sedang berlangsung pernikahan putrid bungsu sang Ratu. Untuk memeriahkan pesta pernikahan putri bungsunya itu, Ratu meminta Sayyid memperagakan pertunjukan yang tak pernah diperagakan oleh siapa pun.
Mendengar permintaan sang Ratu, sayyid meminta pada Ratu untuk meletakkan bambu di atas meja, sembari berpesan untuk ditunggu, Sayyid Sulaiman lalu pergi kea rah timur. Masyarakat sekitar kraton menunggu kedatangan Sayyid sedemikian lama, namun Sayyid belum juga datang. Ratu Mataram hilang kesabaran. Beliau marah, lalu membanting bambu di atas meja hingga hancur berkeping-keping. Ajaib, kepingan bambu-bambu itu menjelma menjadi hewan bermacam-macam. Ratu Mataram tersentak kaget melihat keajaiban ini, barulah ia mengakui kesaktian Sayyid Sulaiman.
Ratu Mataram kemudian menitahkan beberapa prajuritnya untuk mencari Sayyid Sulaiman. Sedang hewan-hewan jelmaan bambu itu terus dipelihara. Hewan-hewan itu ditampung dalam sebuah kebun binatang yang kemudian diberi nama Sriwedari. Artinya, Sri adalah tempat, sedangkan Wedari adalah wedar sabdane Sayyid Sulaiman. Kebun binatang itu tetap terpelihara.Tak lama berselang, Sriwedari menjadi sebuah taman dan objek wisata terkenal peninggalan Mataram.
Setelah meninggalkan Solo, Sayyid Sulaiman menuju ke timur tepatnya, Ampel Surabaya. Beliau kemudian berguru kepada santri-santri Raden Rahmat, Sunan Ampel. Kabar keberadaan Sayyid Sulaiman akhirnya sampai ke telinga Ratu Mataram. Ia mengirim utusan ke Surabaya untuk memanggilnya. Diantara utusan itu ternyata ada Sayyid Abdurrahim, adik kandungnya sendiri. Sesampainya di Ampel, beliau sangat terharu bertemu kembali dengan kakaknya tercinta. Dan akhirnya ia memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram. Beliau juga ingin belajar kepada santri-santri Sunan Ampel bersama Sayyid Sulaiman.
Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke Pasuruan untuk nyantri kepada Mbah Sholeh Semendi di Segoropuro. Lepas dari itu mereka mondok di Mbah Soleh, Sayyid Sulaiman tinggal di Kanigoro, Pasuruan. Sehingga ia mendapat julukan Pangeran Kanigoro dan sempat pula menjadi penasehat Untung Surapati. Untung Surapati adalah tokoh terkemuka Pasuruan dan tercatat sebagai pahlawan yang berjasa mengusir penjajah Belanda dari Nusantara.
Berita kesaktian Sayyid Sulaiman juga terdengar oleh Ratu Keraton Pasuruan. Ratu Pasuruan tidak percaya tentang kesaktiannya. Ia seringkali melecehkan kesaktian Mbah Sayyid. Sampai suatu ketika Putri Keraton yang sedang berjalan-jalan keliling kota hilang. Sang ratu menjadi bersedih bermuram durja.
Lalu diadakanlah sayembara; Bagi yang menemukan sang putri, akan mendapat hadiah yang sangat besar. Tapi malang, sampai berhari-hari diadakan sayembara itu, tak satupun dari peserta yang berhasil menemukan sang putri. Akhirnya, sang Ratu meminta bantuan Sayyid Sulaiman, dan dengan mudah beliau menemukan sang putri keraton. Begitu sampai di hadapan Sang Ratu, Sayyid Sulaiman memasukkan tangannya ke dalam saku. Tak berapa lama kemudian beliau melemparkannya ke halaman. Luar biasa! dengan izin Allah, sang putri muncul dengan kereta dan kusirnya di halaman Keraton. Konon, ia dibawa lari oleh jin ke alam gaib.
Melihat putrinya kembali, beliau menjadi gembira, dan meminta Sayyid Sulaiman menikahi putrinya sebagai ucapan terima kasih atas jasanya itu. Namun, Sayyid Sulaiman menolaknya, beliau lebih memilih tinggal di Kanigoro dan tak berapa lama kemudian beliau diambil menantu oleh Mbah Soleh Semendi. Sayyid Sulaiman juga mempunyai istri dari Malang dan mempunyai seorang putra yang bernama Sayyid Hazam.
Setelah menikah dengan putri kedua Mbah Soleh, Sayyid Sulaiman kembali ke Cirebon. Tapi suasana Cirebon dan banten saat itu sedang terjadi kericuhan besar, dimana Sultan Ageng Tirtayasa sedang berperang dengan putranya sendiri yakni Sultan Haji (1681-1683). Melihat pertikaian ini, Sayyid Sulaiman kemudian kembali ke Pasuruan dan menetap di desa Gambir Kuning.Di Gambir Kuning beliau mendirikan dua buah masjid dan sampai sekarang masjid itu masih ada dan mengalami sedikit perubahan pada lantai dan sebagian bangunan lainnya.
Rupanya kekeramatan Sayyid Sulaiman kembali di dengar oleh Ratu Mataram, kembali ia memanggilnya untuk bertemu. Ratu Mataram kemudian mengutus salah satu Adipatinya untuk menemuinya dan mengajak Sayyid Sulaiman untuk bertemu dengan sang Ratu. Bersama tiga orang santrinya yakin, Mbah Jaelani (Tulangan, Sidoarjo), Ahmad Surahim (putra Untung Surapati), dan Sayyid Hazam (putranya) mereka berangkat ke Solo. Ratu Mataram pada waktu itu berembuk untuk mengangkat Sayyid Sulaiman sebagai hakim, namun ia menolak dengan alasan akan meminta pertimbangan dan restu dari istri dan masyarakat yang ada di Pasuruan.
Tentu saja, mereka yang ada di Pasuruan tidak menyetujuinya. Sayyid Sulaiman kemudian pamit kepada istrinya yang sedang hamil tua untuk pergi ke Solo. Namun di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Bathiek, Mojoagung Jombang, beliau jatuh sakit. Selama masa sakit, beliau dirawat oleh seorang kiai bernama Mbah Alif sampai beliau wafat dan kemudian wafat dan di makamkan di sana.
Perjuangan Sayyid Sulaiman dalam membabat kawasan timur pulau Jawa menjadi daerah yang sarat dengan nilai-nilai religius sudah tidak disangsikan lagi. Hasil jerih payahnya masih dapat kita saksikan sampai sekarang. Sayyid Sulaiman berjasa mendirikan pesantren Sidogiri (Pasuruan) sebuah pesantren tertua di Jawa Timur dan menurunkan pewaris perjuangan, di mana anak keturunannya di kemudian hari banyak menjadi pemangku pesantren-pesantren besar di tanah Jawa, mulai dari pesantren Sidogiri (Pasuruan), Sidoresmo (Surabaya), Al Muhibbin (Surabaya) sampai Syaikhona Cholil (Bangkalan).
Sayyid Sulaiman dari istri pertamanya di Krapyak (Pekalongan), ia dikaruniai empat putra yakni Sayyid Hasan, Sayyid Abdul Wahab, Sayyid Muhammad Baqir (Galuran, Sidoarjo) dan Sayyid Ali Akbar. Dari galur Sayyid Abdul Wahab banyak keturunannya yang tinggal di Magelang dan Pekalongan. Sedangkan dari jalur Muhammad Baqir berada di Krapyak (Pekalongan).
Sayyid Abdul Wahab dan Sayyid Hasan (Pangeran Agung) dikenal sebagai pejuang yang gigih melawan penjajah Portugis dan Belanda. Melalui jalur Sayyid Ali Akbar terlahir ulama-ulama pemangku pesantren di Jawa Timur seperti Sidogiri, Demangan (Bangkalan), dan Sidoresmo (Surabaya).
Sayyid Ali Akbar meninggalkan enam putra yakni Imam Ghazali (Tawunan, Surabaya), Sayyid Ibrahim (Kota Pasuruan), Sayyid Badruddin (makamnya di sebelah Tugu Pahlawan, Surabaya), Sayyid Iskandar (Bungkul, Surabaya), Sayyid Abdullah (Bangkalan, Madura), Sayyid Ali Ashghar (Sidoresmo).
Dari Sayyid Abdullah inilah menurunkan para pemangku pesantren Sidogiri dan Demangan (Bangkalan) yang memiliki puluhan ribu santri. Keturunan dari Sayyid Ali Ashghar di Surabaya banyak tinggal di Sidoresmo dan Sidosermo. Sekarang, di dua desa itu terdapat sekitar 28 pondok pesantren dan semuanya adalah anak keturunan dari Sayyid Sulaimain. Sayyid Ali Asghar juga menurunkan ulama-ulama pemangku pesantren di Tambak, Yosowilangon. Dari istri kedua, putri mbah Soleh Semendi Sayyid Sulaiman menurunkan Sayyid Ahmad (Lebak, Pasuruan). Dari istri ketiganya di Malang, ia mempunyai satu putra, Sayyid Hazam.

Ila hadhroti syayikhina Sayyid Sulaiman,,
al- Fatihah….

SYAIKH JUMADIL KUBRO
TROWULAN, MOJOKERTO

       Peringatan haul ke 632 Syekh Jumadil Kubro yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Mojokerto beberapa bulan yang lalu menghadirkan banyak acara. Salah satu acara yang menarik untuk menjadi perhatian publik adalah sarasehan sehari dengan tema “ Mengkaji dan Merefleksikan Da’wah Syekh Jumadil Kubro”. Dalam sarasehan tersebut menghadirkan sejumlah pakar, baik dari ahli arkeologi, sejarawan maupun dari kalangan ulama. Dari arkeolog hadir Aris Soviyani M.Hum dan Ni Ketut Wardhani keduanya berasal dari BP 3 Kabupetan Mojokerto sendiri. Sedangkan dari sejarawan Muslim hadir Prof. Badri Yatim dan Agus Sunyoto. Dari beberapa pemaparan narasumber ada benang merah menyatakan bahwa Syekh Jumadil Kubro adalah tokoh nyata dan benar adanya. Namun bagaimana meninggalnya dan dimana syekh Jumadil Kubro dimakamkan, masih diperdebatkan.
       Ada anggapan bahwa makam tujuh yang nisannya bertuliskan arab di Tralaya salah satunya adalah Syek Jumadil Kubro. Oleh karenanya banyak masyarakat berziarah ke tralaya sebagai bentuk ritual melengkapi ziarah wali songo. Tidak hanya sekedar masyarakat awam, sejumlah Kyai dan birokrat pun banyak yang meyakini kebenaran tersebut. Bahkan sekarang berdiri bangunan megah sebagai tanda peneguhan klaim kebenaran Syekh Jumadil Kubro memang ada disitu.
       Namun anggapan tersebut haruslah didukung dengan bukti kongkret dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya baik secara umum maupun secara akademik-ilmiah. Karena bagaimanapun pemerintah atau dalam hal ini ulama harus memiliki dasar yang kuat untuk mengarahkan masyarakat awam akan keberadaan ulama besar Syekh Jumadil Kubro. Jangan sampai hanya demi proyek wisata religi mengorbankan aqidah masyarakat. Jadi diperlukan kebijakan dan kearifan dalam menyikapi tabir keberadaan Syekh Jumadil Kubro.

Benarkah Syekh Jumadil Kubro ada di Troloyo?
       Jika kita mau menelaah lebih mendalam S.T Damais seorang arkeolog Belanda pernah meneliti situs Tralaya. Dari penelitiannya tersebut, menyimpulkan bahwa tujuh makam di Tralaya yang bertuliskan Arab tersebut adalah seorang muslim. Anehnya kenapa ada orang muslim ditempat pemakaman kerajaan Majapahit. Padahal tralaya, menurut bahasa kawi berasal dari kata Ksetralaya (lapangan mayat), merupakan makam khusus untuk penguburan kerabat raja, atau orang-orang dalam istana. Sedangkan Agus Sunyoto menyatakan makam tralaya merupakan makam khusus penganut aliran Yoga-tantra. Aliran Yoga-tantra merupakan sekte dari Hindu yang banyak diikuti oleh kerabat Istana. Dan inilah anehnya, kenapa terdapat makam muslim disana. Damais dan Sunyoto sepakat menyatakan bahwa ketujuh makam muslim tersebut adalah kerabat raja, atau orang yang sudah mendapat kehormatan dari raja. Namun ketujuh makam tersebut berdasarkan pembacaan Damais, tidak ada satupun yang menunjukkan nama seseorang. Semuanya hanya menunjukkan tulisan Arab seperti La Ila Ha Ilallah.
       Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makam Syek Jumadil Kubro yang diyakini oleh masyarakat ada di Tralaya seperti sekarang ini, tidak memiliki dasar otentik. Tidak ada satupun bukti bahwa makam tralaya terdapat nama Syek Jumadil Kubro. Karena jika kita menelaah lagi, makam Syekh Jumadil Kubro terdapat diberbagai tempat. Ada yang meyakini Syekh Jumadil Kubro dimakamkan di Yogyakarta, ada pula yang meyakini ada di Bugis. Bahkan ada yang meyakini di Madinah. Semuanya mengklaim kebenaran masing-masing.

A.   Menempatkan Dakwah Syekh Jumadil Kubro
       Jika kita mempertanyakan dimana Syekh Jumadil Kubro, tentu akan menimbulkan problematis yang panjang. Karena akan membutuhkan penelitian dan tenaga besar untuk mengungkapkannya. Tetapi ada satu hal yang menarik untuk kita kaji yakni peran Syekh Jumadil Kubro dalam melakukan transformasi nilai kepada masyarakat jawa khususnya Majapahit.
       Di dalam serat Kandha, ada disebutkan keberadaan empat tokoh suci umat Islam di zaman kuno, yaitu Jumadil Kubro di Mantingan, Nyampo di Suku Dhomas, Dada Pethak di Gunung Bromo dan Maulana Ishaq di Blambangan. Sementara menurut cerita tutur dikalangan pengikut Syaikh Siti Jenar, Syekh Jumadil Kubro adalah teman baik Syekh Siti Jenar saat membawa tawar tanah-tanah angker bekas pemujaan aliran Yoga-tantra yang terkenal dengan kesaktiannya.
       Dari beberapa serat tersebut membuktikan peran besar Syekh Jumadil Kubro dalam menyumbangkan Islamisasi ditanah jawa. Bahkan bisa jadi pula Syekh Jumadil Kubro-lah peletak dasar dakwah kultural yang menyentuh ke kalangan grass root. Agus Sunyoto misalnya menyebut bagaimana kelihaian ulama dahulu yang mampu melakukan strategi dakwah yang begitu canggih. Istilah-istilah agama setempat yang masih menganut agama kapitayan, tidak dibuang begitu saja. Tetapi tetap dipakai untuk menyamakan dengan istilah ajaran Islam. Misalnya dalam melakukan pemujaan kepada Allah tidak menyebutkan sholat tetapi memakai istilah sembahyang. Begitupun dengan istilah tempat pemujaan. Orang jawa menamakan tempat pemujaan kepada dewa disebut sanggar. Namun oleh ulama diganti menjadi langgar. Istilah surga dikenalkan kepada masyarakat menggantikan istilah jannah. Istilah nar digantikan dengan istilah neraka. Dan lain sebagainya. Sehingga, masyarakat awam dapat begitu mudah menerima ajaran Islam yang tidak jauh berbeda dengan istilah-istilah agama yang lama mereka yakini.

B.   Menyelami makna dakwah kekinian
       Adalah aneh jika sebagian umat Islam melakukan dakwah dengan memberantas bentuk-bentuk tradisi yang telah mengakar kuat ditengah masyarakat. Mereka mengklaim bahwa tradisi-tradisi yang dijalankan oleh masyarakat sebagai bentuk ajaran bid’ah. Usaha mengawinkan tradisi dengan ajaran Islam pun dianggap sesat. Akhirnya ada gap antara Islam sendiri dengan masyarakat setempat sebagai obyek dakwah mereka. Islamisasi pun tidak berhasil gemilang sebagaimana ulama-ulama terdahulu.
       Mungkin mereka lupa dengan sejarah. Pendekatan fiqh dalam memandang hitam-putih suatu masalah akan selalu menimbulkan konflik. Masih terngiang bagaimana perang padri yang mengorbankan banyak nyawa. Lantaran ulama putih memaksakan nilai yang mereka yakini kepada masyarakat setempat.
            Berbeda dengan dakwah ala Syekh Jumadil Kubro atau da’i-da’i dalam barisan wali songo. Mendakwahkan Islam dengan melihat local genius masyarakat setempat. Islamisasi pelan tapi pasti mengakar, dan masuk ke dalam jantung ranah sanubari masyarakat. Masyarakat ditanamkan akan ketahuidan yang mendalam dengan laku untuk memperoleh kebenaran. Memperoleh kejayaan sejati. Dan memperoleh hakekat kemana kehidupan itu sendiri.
      Dari sini sangatlah urgen untuk menghadirkan semangat dakwah Syekh Jumadil Kubro dalam ranah Islamisasi kembali masyarakat Muslim saat ini dengan menggunakan pendekatan kultual. Karena pendekatan kultural telah teruji ampuh didalam mengemban pesan suci menghantarkan masyarakat untuk mengagumi Islam, memulyakan Allah dan melaksanakan apa saja yang diperitanhakan Yang Maha Tunggal.

Ila hadhroti syayikhina Jumadil Kubro,
al- Fatihah….




RADEN RAHMAT ( SUNAN AMPEL ) (1401-1481 M)
AMPEL, SURABAYA

            Prabu Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau memikirkan pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit. Perang saudara berkecamuk di mana-mana. Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi ''kesibukan'' harian kaum bangsawan dan  kebanyakanrakyat.   
       Melihat beban berat suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk. ''Saya punya keponakan yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti,'' kata permaisuri yang juga putri Raja Campa itu. ''Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,'' Darawati menambahkan. Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali Rahmatullah ke Campa kini wilayah Kamboja.
       Ali Rahmatullah inilah yang kelak lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Cucu Raja Campa itu adalah putra kedua pasangan Syekh Ibrahim Asmoroqondi dan Dewi Candrawulan. Ayahnya, Syekh Ibrahim, adalah seorang ulama asal Samarqand, Asia Tengah. Kawasan ini melahirkan beberapa ulama besar, antara lain perawi hadis Imam Bukhari.
       Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Campa. Ia kemudian diangkat sebagai menantu. Sejumlah sumber sejarah mencatat silsilah Ibrahim dan Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad lewat jalur Imam Husein bin Ali. Tarikh Auliya karya KH Bisri Mustofa mencantumkan nama Rahmatullah sebagai keturunan Nabi ke-23. Ia diperkirakan lahir pada 1401 M. Dalam lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayyid Ali Murtadho), dan sahabatnya (AbuHurairah).[50] 
       Rombongan mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai Syekh Asmoroqondi wafat. Makamnya kini masih terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap Kertawijaya. Di sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit. Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan untuk dididik dan mendirikan permukiman di Ampel. Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan.
       Selama tinggal di Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban.  Sejak itu, gelar pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan sebagai keluarga keraton Majapahit. Beliau pun makin disegani masyarakat.
       Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus melakukan dakwah. Beliau Membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat. Pengikutnya pun bertambah banyak.
       Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun langgar (mushala) sederhana di Kembang Kuning, delapan kilometer dari Ampel. Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang --dan diberi nama Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal masyarakat Jawa.
       Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan aqidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ''salat'' diganti dengan ''sembahyang'' (asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai musala, tapi ''langgar'', mirip kata sanggar. Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari shastri orang yang tahu buku suci agama Hindu. Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat.
       Meski menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa saja. Dengan cara pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan luas.
       Dari sinilah sebutan ''Sunan Ampel'' mulai populer. Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ''Moh Limo''. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela. Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau mengisap candu), dan moh madon (tidak mau berzina)[51]. Falsafah ini sejalan dengan problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan SriKertawijaya.
      Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan santrinya, ada yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, menurut satu versi, Sunan Ampel dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim). Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak menjadi sultan pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua muridnya yang juga wali. Yakni Dewi Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang dinikahkan dengan Sunan Kalijaga.
       Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang juga para wali. Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pernah menawarkan untuk mengislamkan adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan Ampel menolak halus. ''Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?'' kata Sunan Ampel. ''Nanti bisa bidah, dan Islam tak murni lagi.'' Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat.
       Sementara Sunan Kudus dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. Sunan Kudus membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama sekali tidak. Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa dijadikan sumber hukum Islam atau tidak.
       Meski demikian, perbedaan itu tidak mengganggu silaturahim antar para wali. Sunan Ampel memang dikenal bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa.
       Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan Wali Songo, sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut politik Majapahit. Namun, mengenai tanggal wafatnya, tak ada bukti sejarah yang pasti. Sumber-sumber tradisional memberi titimangsa yang berbeda. Babad Gresik menyebutkan tahun 1481, dengan candrasengkala ''Ngulama Ampel Seda Masjid''. Cerita tutur menyebutkan, beliau wafat saat sujud di masjid. Serat Kanda edisi Brandes menyatakan tahun 1406. Sumber lain menunjuk tahun 1478, setahun setelah berdirinya Masjid Demak.
       Sunan ampel dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, di areal seluas 1.000 meter persegi, bersama ratusan santrinya. Kompleks makam tersebut dikelilingi tembok besar setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel bersama istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64 meter persegi. Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi pasir putih. Setiap hari, penziarah ke makam Sunan Ampel rata-rata 1.000 orang, dari berbagai pelosok Tanah Air.




Ila hadhroti syayikhina Raden Rahmat (Sunan Ampel),
al- Fatihah….




SYEIKH MAULANA MALIK IBRAHIM (SUNAN GRESIK)
GRESIK

Maulana Malik Ibrahim, diperkiraakn hidup pada pertengahan abad 14 M. beliau merupakan putra dari syekh jumadil kubro, beliau bermukim di cempa(kamboja) selama 13 tahun (1379 – 1302),dan menikah dengan putri Cempa. Setelah dakwahnya cukup di negri Cempa, beliau meneruskan ke pulau Jawa. Desa  yang pertama kali disinggahi adalah desa Sembalo, Manyar, Gresik.

            Matahari barusaja tenggelam didesa Tanggulangin, Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang giliran menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk desa tampak ceria menyambut cuaca malam itu. Sebagian mereka berbincang santai di beranda, duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar suara gemuruh, makin lama makin riuh.

Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan berkuda berjumlah sekitar 20 orang. Warga Tanggulangin berebut menyelamatkan diri --bergegas masuk ke rumahnya masing-masing. Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk Penjalin. Ia berperawakan tinggi, kekar, dengan wajah bercambang bauk.''Serahkan harta kalian,'' sergah Penjalin, jawara yang tak asing di kawasan itu. ''Kalau menolak, akan kubakar desa ini.'' Tak satu pun penduduk yang sanggup menghadapi. Mereka memilih menyelamatkan diri, daripada ''ditekuk-tekuk'' oleh Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu siap menghanguskan Tanggulangin.
Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu terhenti. Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih, tiba-tiba muncul entah dari mana. Rombongan ini dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama terkenal yang mulai meluaskan pengaruhnya di wilayah Gresik dan sekitarnya.
      Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan. Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal di rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat, terjadilah pertarungan seru. Penduduk Tanggulangin, yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar, lalu membantu Ghafur.
 Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir. Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin. Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali. Aneh, di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah surut.
Penjalin terperangah. ''Mengapa tak jadi membunuh aku?'' ia bertanya. Ghafur menjawab, ''Karena kamu telah membuatku marah, dan aku tak boleh menghukum orang dalam keadaan marah.'' Mendengar ''dakwah'' ini, disusul oleh perbincangan singkat, Penjalin dan gerombolannya menyatakan tertarik memeluk agama Islam.
                     Petikan di atas merupakan satu dari banyak kisah populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis pengarang buku-buku Maulana Malik Ibrahim adalah pertemuannya dengan sekawanan kafir di tengah padang pasir. Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa. Pedang sudah dihunus. Sunan Gresik mendinginkan mereka dengan pembicaraan yang lembut, kemudian memimpin shalat Istisqa' --untuk memohon hujan. Tak lama kemudian langit mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu memeluk agama Islam.
                         Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias wali pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu. Ada yang mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat (India). Sumber lain menyebutkan ia lahir di Campa (Kamboja).
                          Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Beliau pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah Muhammad SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.
             Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim diminta ayahnya, Syekh Jumadil Kubro, agar merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka, bersama 40 anggota rombongan yang menyertainya, Malik mengarungi samudra berhari-hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik, pada 1380 M. Mengenai tahun ''pendaratan'' ini pun terdapat beberapa versi.
             Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik Ibrahim, misalnya, mencantumkan tahun 1392. Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun 1404. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah Kerajaan Majapahit.
             Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya, dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian besar masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu, ''agama resmi'' Kerajaan Majapahit. Sunan melalukan sesuatu yang sangat sederhana: membuka warung. Beliau menjual rupa-rupa makanan dengan harga murah.
             Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya: membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa yang diambil dari Al-Quran, beliau terbukti mampu menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan menjelma menjadi ''dewa penolong''. Apalagi, beliau tak pernah mau dibayar.
                         Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan Gresik cepat dikenal, karena beliau sanggup menerobos sekat-sekat kasta. Beliau memperlakukan semua orang sama sederajat. Berangsur-angsur, jumlah pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan masjid.
                         Beliau juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Dalam mengajarkan ilmunya, Syekh Malik punya kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab hadis di atas bantal. Karena itu beliau kemudian dijuluki ''Kakek Bantal''.
             Kendati pengikutnya terus bertambah, Syekh Malik merasa belum puas sebelum berhasil meng-Islamkan Raja Majapahit. Beliau Paham betul, tradisi Jawa sarat dengan kultur patron-client (suri tauladan). Rakyat akan selalu merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena itu, meng-Islamkan raja merupakan pekerjaan yang sangat strategis.Tetapi Syekh Malik tahu diri. Kalau beliau langsung berdakwah ke raja, pasti tak akan digubris, karena posisinya lebih rendah. Karena itu beliau meminta bantuan sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain.
             Konon, Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J. Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis van Java, menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah, alias Kedah, di Malaysia.
 Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya, Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi yang berwajah elok itu akan dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-cabanglah cerita mengenai ''Raja Majapahit'' itu.. Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V. Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah Angkawijaya.
Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya, Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama Angkawijaya tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi maupun Pararaton. Nama Angkawijaya tercantum dalam Serat Kanda. Di situ disebutkan, dia adalah pengganti Kertawijaya, alias Damarwulan --suami Kencana Wungu.
             Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi. Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah Jawi, raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma, menurut catatan sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada 1498-1518. Periode ini jadi ''bentrokan'' dengan masa hidup Maulana Malik Ibrahim.
             Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias Wikramawardhana, yang memerintah pada 1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja sebenarnya, yang jelas penguasa Majapahit itu akhirnya bersedia menemui rombongan Raja Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total.
            Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi menolak masuk Islam. Bargaining (proses tawar menawar) seperti ini tentu diotolak rombongan Cermain. Sebelum pulang ke negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran. Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka menetap di rumah Sunan Gresik.
             Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah wabah penyakit. Banyak anggota rombongan Cermai yang tertular, bahkan meninggal termasuk Dewi Sari. Raja Cermai dan sebagian kecil pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan kegagalan ''misi'' itu. Ia terus melanjutkan dakwahnya hingga wafat, pada 1419. Makamnya ini di desa Gapuro, Gresik.[52]

Ila hadhroti syayikhina Maulana Malik Ibrohim,
al- Fatihah….


SYEIKH MULANA ‘AINUL YAQIN (SUNAN GIRI)
( BLAMBANGAN 1442- 1506 M )[53]

Selama 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua.Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishaq, kembali terngiang: ''Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.'' Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, beliau diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara.
Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, beliau kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ''giri'' berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri --yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudhu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ''Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,'' kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fiqih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
       Ketika Sunan Ampel, ''ketua'' para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, beliau diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487.
             Dikisahkan tentang sebab musabab bertemunya Maulana Ishaq (ayah sunan Giri) dan Dewi Sekardadu (ibu Sunan Giri) adalah berawal dari sakit yang diderita Dewi Sekardadu. Prabu Menak Sembuyu ayah Dewi Sekardadu mengutus patihnya untuk mencari tabib sakti yang sanggup mengobati putrinya. Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberikan informasi tentang Syekh Maulana Ishaq. Rupanya, Maulana Ishaq mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishaq pun dipenuhi.
        
       Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishaq. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Beliau malah iri menyaksikan Maulana Ishaq berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Beliau berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishaq. Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishaq akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai.
             Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu --yang sedang mengandung tujuh bulan-- agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishaq dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti.
       Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam. Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ''Maulana `Ainul Yaqin''.
            Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishaq. Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya.
       Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishaq membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya me
mburnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Beliau dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, kabupaten Gresik, Jawa Timur. Beliau banyak meninggalkan bagi masyarakat Jawa,diantaranya,ilir-ilir, cublek suweng, gending asmorodana.[54]

Ila hadhroti syayikhina Maulana ‘Ainul Yaqin,
al- Fatihah….



SUNAN DRAJAT
TUBAN, JAWA TIMUR

          Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda beliau dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atau Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.

       Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.
       Beliau lahir pada tahun 1740, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, beliau diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik.
             Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda. [55]
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, beliau ditolong ikan cucut dan ikan talang
, ada juga yang menyebut ikan cakalang.
       Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
       Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
        Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamaiDesaDrajat. Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerahangker.
       Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.
       Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat --termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
       Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Beliau menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ''Bapang den simpangi, ana catur mungkur,'' demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
       Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara :
Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar.
Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
ketiga,memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan     gending.
kelima, beliau juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta// paring pangan marang kang kaliren//paring sandang marang kang kawudan// paring payung kang kodanan[56]. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.
        Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Beliau kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan.
       Usai shalat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berdzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan shalat maghrib.''Berhentilah bekerja, jangan lupa shalat,'' katanya dengan nada membujuk. Beliau selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa.
        Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika beliau merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, baliau berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening , yang kemudian menjadi sumur abadi.
        Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga. Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Cirebon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati.
           Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu merupakan murid Sunan Ampel.
           Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ''saling memuridkan''. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Beliau pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
          Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat.
          Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan.
         Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
         Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ''Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga....'' Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
       Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di zaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.

Ila hadhroti syayikhina Raden Qosim sunan Drajat,
al- Fatihah….


RADEN MAKHDUM IBRAHIM (SUNAN BONANG)
TUBAN, JAWA TIMUR

Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka.
Sang Pejuang Islam Yang Mengandalkan Kesenian
       Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makhdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Beliau lahir pada tahun 1465 M[57].
       Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya . Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu ditelinga penduduk setempat . Lebih –lebih bila Raden Maqdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya . Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya . Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang – tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.
            Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran.Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka.
       Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam.Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
 Diantara tembang yang terkenal ialah :

“Tamba ati iku limo sak warnane,
Maca Qur’an angen-angen sak maknane,
Kaping pindho shalat wengi lakonona,
Kaping telu wong kang saleh kancanana,
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe,
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe,
Sopo wongé bisa ngelakoni,
Insya Allah Gusti Allah nyembadani”.

       Hingga sekarang ini sering dilantunkan para santri ketika hendak shalat jama’ah, baik di pedesaan maupun dipesantren. Murid-murid Raden Maqdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk .Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda . (Nederland)
       Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Beliau juga dipercaya sebagai imam resmi pertama masjid agung Demak,beliau juga pernah menjadi panglima tinggi kerajaan,namun setelah berselisih paham dengan sultan beliau mengundurkan diri dan pindah ke Bonang,sebuah desa kecil di lasem,sekitar 15 kiometer ke timur kota Rembang, disana beliau kemudian mendirikan pesantren yang dikenal dengan nama “Watu Layar”.[58]
       Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yazid Al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama: tasawwuf, ussuluddin, dan fiqih.
           
            Ajaran tasawwuf, misalnya, menurut versi Sunan Bonang menjadi penting karena menunjukkan bagaimana orang Islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada Allah. Para penganut Islam harus menjalankan, misalnya, shalat, berpuasa, dan membayar zakat. Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh utama: dunia, hawa nafsu, dan setan. Untuk menghindari ketiga ''musuh'' itu, manusia dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap rendah hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke, naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah Wali Songo yang relatif lebih lengkap.
            Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ disebutkan pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.
            Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan anak buahnya hanya mempergunakan tambang dan gending. Dharma dan irama Mocopa,t Begitu gending ditabuh Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu bergerak, seluruh persendian mereka seperti dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka melaksanakan niat jahatnya.
 “Ampun ………. hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat !” Demikian rintih Kebondanu dan anak buahnya.
“Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati kalian tidak buruk dan jahat.”
“Ya, kami menyerah, kami tobat !Kami tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi, tapi ………. “ Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
“Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !” ujar Sunan Bonang.
“Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya,” kata Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan tindak kejahatan lainnya.”
Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja,” kata Sunan Bonang. “Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Penerima tobat.”
“Walau dosa kami setinggi gunung ?” Tanya Kebondanu.
Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir di laut.”Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian pula anak buahnya.
       Pada suatu ketika juga ada seorang Brahmana sakti dari India yang bernama Dampo Ausang yang berlayar ke Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan berdebat tentang masalah keagamaan dengan Sunan Bonang. Namun ketika beliau berlayar menuju Tuban, perahunya terbalik dihantam badai. Walaupun beliau dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut.
       Di tepi pantai mereka melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.“Saya datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang.”kata sang Brahmana.
“Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang?” tanya lelaki itu .
“Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan “,kata sang Brahmana .”Tapi sayang kitab –kitab yang saya bawa telah tenggelam kedasar laut .”
 Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya yang menancap dipasir ,mendadak tersemburlah air dari lubang tongkat itu, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.
 “Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam kedasar laut?”Tanya lelaki itu.
 Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri.
Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
 “Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?”tanya sang Brahmana
“Tuan berada dipantai Tuban !”jawab lelaki itu . Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri. Siapalagi orang sakti berilmu tinggi yang berada dikota Tuban selain Sunan Bonang. Sang Brahmana tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masalah keagamaan, malah kemudian beliau berguru kepada Sunan Bonang dan menjadi pengikut Sunan Bonang yang setia.
            Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan dimakamkan, ada perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka, karena sang Sunan sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tetapi, warga Tuban tidak mau terima. Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke Bawean, ''mencuri'' jenazah sang Sunan.
      Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean. Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.  
            Adalagi legenda aneh tentang Sunan Bonang. Sewaktu beliau wafat, jenasahnya hendak dibawa ke Surabaya untuk dimakamkan disamping Sunan Ampel yaitu ayahandanya .Tetapi kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak sehingga terpaksa jenazahnya Sunan  Bonang dimakamkan di Tuban yaitu disebelah barat Masjid Jami  Tuban.

Ila hadhroti syayikhina Raden Makhdum Ibrohim,
al- Fatihah….



Sunan Muria 
Gunung Muria

A.  Asal-usul

     Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
     Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut Solichin Salam, sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
     Sakti Mandraguna Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung. Menurut pengalaman penulis (Abu Khalid, MA) jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai ke makam Sunan Muria tidak kurang dari 750 m.
     Bayangkanlah, jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik turun, turun naik guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.
     Bukti bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.
     Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru
kepada beliau.
     Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap dua puluh tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti: Sunan Muria, Sunan Kudus. Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri. Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh.
     Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan miniman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya.
     Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu.
     Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang mempesona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus.
     Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.
     Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.
     Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri gurunya.
     Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.
     Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya.
     Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-endap ke kamar Roroyono. Gadis itu disirapnya (sirap atau sirep dikenal sebagai ilmu semacam hipnotis), sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri.
     Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya diculik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya kembali ke Ngerang akan dijodohkan dengan putrinya itu, dan bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang.
     “Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak”, kata Sunan Muria.
     Tetapi, di tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling.
     “Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa?”, tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak.
     Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.
     “Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut diajeng Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar membantu”, demikian kata Kapa.
     “Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri”, ujar Sunan Muria. “Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali”, kata Kapa ngotot.
     Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santri di Padepokan Gunung Muria.
     Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang ada tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
     Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak.
     “Hai Pathak Warak berhenti kau!”, bentak Sunan Muria. Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti, karena Sunan Muria menghadang di depannya.
     “Minggir! Jangan menghalangi jalanku!”, hardik Pathak Warak. “Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono!” “Goblok ! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri! Kini aku hendak mengejar mereka!”, umpat Pathak Warak. “Untuk apa kau mengejar mereka?” “Merebutnya kembali!”, jawab Pathak Warak dengan sengit. “Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku!” ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.
     Tanpa basa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangsak ke arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia, bukan tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.
     Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh, tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
     Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan.
     Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya serba berkecukupan.
     Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan ideal.
     Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tak dapat tidur. Wajah wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang menghujam di dada. Mengapa dulu mereka buru-buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar laki-laki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan (kemaluan) mereka.
     Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus menerus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.
     Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.
     Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, sehingga terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, hingga akhirnya Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.
     Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di malam hari. Tak seorang pun yang mengetahuinya.
     Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap (sirep: dikenal sebagai ilmu sirep, semacam hipnotis) murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah… yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke pulau Seprapat.
     Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang datuk di Pulau Seprapat. Ini biasa dilakukannya karena baginya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
     Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara sukarela.
     Ternyata, kedatangan Kapa ke Pulau Seprapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang datuk.
     “Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan istri kakang seperguruanmu sendiri itu!”, hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
     “Bapa Guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela?”protes Kapa. “Sampai mati pun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri!”.
     Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk.
     Begitu mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa langsung melancarkan serangan dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa.
     Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa. Ternyata, serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan.
     Karena Kapa mempergunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
     “Maafkan saya tuan Wiku…”, ujar Sunan Muria agak menyesal. “Tidak mengapa. Menyesal aku telah turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan”, gunam sang Wiku.
     Bagaimana pun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan dan hidup berbahagia.



Ila hadhroti syayikhina Sunan Muria,
al- Fatihah….




Sunan Kudus

A.    Asal-usul

     Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putra Raden Usman haji bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini sebelah utara kota Blora. Di dalam Babad Tanah Jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri yang bernamaasli Ja’far Sodiq.
     Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun melalui siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka (persenjataan) dari Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang. Keadaan ini tentu bukan semata-mata berkat siasat Sunan Kalijaga dan bantuan pusaka Raden Patah, tetapi karena izin Allah, siasat itu dapat merubah keadaan peperangan itu.
     Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin lasykar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.

B.      Guru-gurunya
     Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng
Ngerang dan Sunan Ampel.
     Nama asli kiai Telingsing adalah The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah. Jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa untuk menjalin tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.Di Jawa, The Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak di antara sungai Tanggulangin dan Sungai Juwana sebelah timur. Di sana beliau bukan hanya mengajar agama Islam, melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah.
     Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari Cina itu, Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden Ja’far Sodiq di masa selanjutnya yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
     Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.

1.  CARA BERDAKWAH YANG LUWES

A. Strategi Pendekatan Kepada Massa
     Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut:
Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal  menghadapi masyarakat yang demikian.
     Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
     Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
     Pada akhirnya boleh saja merubah dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik pada ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam secara konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non muslim.
     Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut Kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.
     Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhirnya dapat dikompromosikan.



B. Merangkul Masyarakat Hindu
     Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
     Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar. Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus.
     Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus?
     Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan masyarakat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri.

     Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
     “Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai”, Sunan Kudus membuka suara. “Saya melarang sauadara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya”.
     Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum kagum. Mereka menyangka Raden Ja’far Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. “Demi rasa hormat saya kepada jenis hewan yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih Sapi!”
     Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu. Sunan Kudus melanjutkan,”Salah satu di antara surat-surat di dalam Al Qur’an yaitu surat kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah”, kata Sunan Kudus.
     Masyarakat makin tertarik. Kok ada Sapi di dalam Al Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang  mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
     Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
     Bentuk Masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak merasa takut atau segan masuk ke dalam masjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.

C. Merangkul Masyarakat Budha
     Sesudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan bersifat tidak memaksa.
     Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca Kepala Kebo Gumarang di atasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha “Jalan berlipat delapan” atau “Asta Sanghika Marga”, yaitu:
1. Harus memiliki pengetahuan yang benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.
     Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu. Sehingga mereka berdatangan ke masjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

D. Selamatan atau Mitoni
     Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
     Seperti diketahui, rakyat Jawa yang melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan untuk menunjukkan belasungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni, dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
     Contohnya, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anakanya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
     Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan bila anaknya lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunda Nabi Isa a.s. Untuk itu sang ayah dan ibu perlu sering-sering membaca surat Yusuf dan surat Mariam dalam Al Qur’an.
     Sebelaum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya’ atau sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya’ yang berbentuk tembang Asmaradana, Pucung, dan lain-lain itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.
     Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian diikrarkan (dihajatkan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau di tempat-tempat sunyi di lingkungan tuan rumah.
     Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.
     Sebelum masuk masjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya di kolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.
     Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kainya waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi dengan cukup cerdik, yaitu ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya kepada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikawatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
     Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, yaitu rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke Masjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.
     Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.




2.   Sunan Kudus Di Negeri Mekkah
     Di dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.
     Sewaktu berada di Mekah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan di sana ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri Arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
     Sudah banyak orang mencoba tak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq mengahadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambut dengan sinis.
     “Dengan apa tuan melenyapkan wabah penyakit itu?” tanya sang Amir. “Dengan doa”,jawab Ja’far Sodiq singkat. “Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini”
     “Saya mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan”, kata Jakfar Sodiq.
     “Hem, sungguh berani tuan berkata demikian”, kata Amir itu dengan nada berang. “Apa kekurangan mereka?”. “Anda sendiri yang menyebabkannya”, kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. “Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharap hadiah”. Sang Amir pun terbungkam atas jawaban itu.
     Jakfar Sodiq lalu dipersilakan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Secara khusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikannya kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah Jawa, dipasang di pengimaman masjid Kudus yang didirikannya sekembali dari Tanah Suci.
     Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para Wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu. Karena Masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.


3.   Tugas Sebagai Senopati
     Malam hitam pekat, udara musim kemarau terasa sangat dingin menusuk tulang. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebab malam itu terdengar auman harimau sambung-menyambung, terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan memangsa hewan ternak mereka.
     Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk kampung. Para penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan yang sudah mereka kenal selama ini ada harimaunya.
     Dengan senjata siap di tangan mereka siap menghadapi segala kemungkinan. Di tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa. “Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini?” tanya tetua desa. “Tidak”, jawab lelaki berjubah putih itu.“Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau pun”. “Aneh, semalaman kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus”,gunam tetua desa. “Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada Sima”, kata lelaki berjubah putih.
     Tetua desa itu menurut, hingga sekarang tempat lelaki berjubah putih bermalam itu dinamakan desa Sima. Lelaki berjubah putih itu kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.
     Pagi itu udara masih terasa menggigit tulang. Seiring dengan langkah lelaki berjubah putih dan tujuh orang pengikutnya yang makin mendekati ujung desa Pengging tiba-tiba di udara nampak dua ekor gagak terbang sambil mengeluarkan suara khasnya.
     Adanya suara burung gagak adalah lambang kematian, berarti akan ada sosok manusia yang dicabut nyawanya oleh Sang Malaikat Maut. Siapakah orang yang bakal mati hari ini? Siapa pula orang berjubah putih yang nampak agung dan berwibawa itu? Mengapa tujuh orang santri terus mengikutinya dari belakang? Apa tujuan mereka ke desa Pengging? Pengging atau Pajang pada beberapa tahun silam bukanlah sebuah desa terpencil. Pengging adalah sebuah Kadipaten yang sangat terkenal karena Adipati Handayaningrat yang memimpin adalah Putra Prabu Brawijaya Penguasa Majapahit.
     Adipati Handayaningrat mempunyai dua orang putra lelaki. Yang pertama bernama Kebo Kanigara, yang kedua Kebo Kenanga. Ketika sang Adipati meninggal dunia, Kebo Kanigara mengembara tak ketahuan rimbanya. Sedang Kebo Kenanga masuk Islam menjadi murid Syekh Siti Jenar. Tenggelam dalam alur faham Siti Jenar sehingga pikirannya berubah. Tak mau mengurus lagi Kadipaten warisan orang tuanya. Ia malah mengajak rakyatnya untuk hidup wajar sebagai petani biasa.
     Sungguh mengagumkan. Hasil panen para petani Pengging kemudian tersebar ke penjuru desa lainnya. Bahkan menggetarkan dinding-dinding istana Demak Bintoro, karena Ki Ageng Pengging tak pernah sowan menghadap Sri Sultan. Dan tentu saja tak pernah menyerahkan upeti pertanda setia dan tetap tunduk kepada Demak Bintoro.
     Karena itu Raden Patah segera mengutus dua perwira utama untuk menengok Ki Ageng Pengging. “Ki Ageng”, kata utusan itu setelah tiba di hadapannya. “Sudah dua tahun Andika tidak menghadap Gusti Sultan Demak. Kami diperintahkan mengingatkan Andika, sebab Gusti Sultan sudah sangat merindukan kehadiran Andika selaku saudaranya”.
     Ki ageng Pengging menatap dua orang utusan itu dengan tajam. “Buat apa seorang petani desa menghadap Sri Sultan? Hanya bikin malu Sri Sultan saja. Hai utusan kembali-lah dan katakan kepada Sri Sultan aku tak dapat memenuhi panggilannya. Mohonkan ampun atas sikapku ini”.
     Dua orang utusan itu segera kembali ke istana Demak. Tak berapa lama kemudian Ki Ageng Pengging memanggil dalang wayang beber. Selepas shalat Isya’ dalang pun segera memainkan lakon wayangnya. Penduduk berduyun-duyun menyaksikan pertunjukan gratis itu.
     Ketika hampir muncul fajar sidik di ufuk timur. Tiba-tiba istri Ki Ageng Pengging menggerang kesakitan. Ia merasa si jabang bayi akan segera lahir. Ki Ageng Pengging segera memerintahkan Ki Dalang untuk mengakhiri pertunjukannya. Orang-orang pun segera sibuk menolong istri Ki Ageng Pengging. Ternyata yang lahir adalah laki-laki yang elok rupanya.
     Ki Ageng Tingkir berkata kepada adik seperguruannya. “Adimas, karena anakmu lahir bertepatan dengan pagelaran wayang beber maka anakmu kuberi nama Karebet”.
     “Terima kasih atas kesediaan memberi nama anak ini”, ujar Ki Ageng Pengging.“Mudah-mudahan dia dapat meniru kegagahan dan watak satria Kakang”. Ki Ageng Tingkir turut bergembira atas kelahiran putra adik seperguruannya itu. Selama tiga hari ia menunggui kelahiran bayi itu di Pengging. Sementara itu, Raden Patah mengatur siasat. Dua orang utusannya telah gagal memanggil Ki Ageng Pengging. Sekarang dia mengutus Ki Wanapala untuk memanggil Ki Ageng Pengging.
     Ki Wanapala adalah bekas Mahapatih Demak Bintoro yang sudah mengundurkan diri. Kedudukannya telah digantikan anaknya sendiri. Namun ia masih sering datang ke istana Demak jika diperlukan Raden Patah untuk dimintai pertimbangan.
     Namun patih senior ini juga tak mampu menjinakkan sikap Ki Ageng Pengging, ia pulang dengan tangan hampa.
     Ki Wanapala tak berpanjang kata. Ia segera kembali ke Demak. Melaporkan segala apa yang didengarnya. Sri Sultan setuju atas keputusan Ki Wanapala memberi tenggang waktu selama tiga tahun.
     Namun ketika tiga tahun lewat Ki Ageng belum menghadap ke Demak juga. Atas nasehat para Wali, maka Sri Sultan mengirim utusan ketiga. Yang ditugaskan kali ini adalah Sunan Kudus. Tugas kali ini harus tuntas. Karena Sunan Kudus yang terkenal memiliki ilmu logika tinggi dan beribu ilmu kesaktian itu terpilih menangani masalah ini. Sri Sultan tak perlu mengirim utusan keempat lagi.
     Walaupun Sunan Kudus itu Panglima Perang Demak, tetapi para Wali melarangnya menggunakan baju dan seragam militernya. Sunan Kudus disarankan agar memakai pakian jubah putih sebab yang dihadapinya adalah seorang santri desa.
     Berangkatlah Sunan Kudus dengan iringan tujuh prajurit Demak pilihan yang juga menyamar sebagai para santri biasa.
     Tiga tahun memang telah berlalu dengan cepatnya. Ki Ageng Pengging tidak pernah menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu pernah mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati   Handayaningrat tidak diurus lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar.
     Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajuritnya masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan keperwiraannya di balik baju petani. Tetapi sewaktu-waktu mereka bisa digerakkan jika diperlukan oleh Ki Ageng Pengging.
     Hal ini disadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro. Itu sebanya Sri Sultan memilih Sunan Kudus untuk menggali sang pembangkang yaitu Ki Ageng Pengging ini.
     Suasana Kadipaten Pengging benar-benar lengang. Pagi itu penduduk banyak yang pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten tidak kelihatan. Di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu kini hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar. Bentuknya seperti rumah penduduk lainnya.
     Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang dibunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende itu dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti akan menemui kegagalan.
     Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging. “Maaf tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu”, kata pelayan itu. “Aku bukan tamu biasa”, kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging”. Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng
 bersedia menerima tamunya.
     Sunan Kudus dipersilakan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormati tamu khusus itu. Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
     “Wahai Ki Ageng, saya diperintah oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di luar atau di dalam? Di atas atau di bawah?”, tanya Sunan Kudus. Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam, patih Demak Bintoro. “jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu”,kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah, luar-dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya”.
     Jawaban itu bagi Sunan Kudus adalah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya pemberontak!
     Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum mati karena kesesatannya, Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syeikh Siti Jenar itu atau sudah meninggalkannya sama sekali.
     “Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup”, kata Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya katakan itu? Saya ingin melihat buktinya”.
            “Memang begitu!”, jawab Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa saja aku ini maka aku akan menurut apa yang kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja, memang aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan kau anggap aku ini Allah aku memang Allah!”
      Klop sudah! Ki Ageng Pengging masih memegang teguh ajaran Syekh Siti Jenar yang berfaham Wihdatul Wujud atau berfilasafat serba Tuhan. Faham itu adalah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para wali, sehingga Syekh Siti Jenar dihukum mati.
      Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan diplomasi.
      “Seperti pengakuan Ki Ageng, bahwa Ki Ageng dapat mati di dalam hidup. Saya ingin melihat buktinya”. “Jadi itukah yang dikehendaki Sulatan Demak?. Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku. Bagiku hidup dan mati tidak ada bedanya”. Ki Ageng Pengging berhenti sejenak, menatap dalam-dalam wajah Sunan Kudus. “Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati”. Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng. Ki Ageng menghela nafas panjang. “Tusuklah siku lenganku ini….!”, ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya. Sunan Kudus pun melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng Pengging.
      Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar Sunan Kudus.
      200 orang bekas prajurit dan perwira dipimpin bekas Senopati Kadipaten Pengging mencabut senjata dan berteriak-teriak memanggil Sunan Kudus dari kejauhan.
      Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging mengejar ke arah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit itu lenyap. Orang Pengging kebingungan, tak tahu hars berbuat apa. Akal mereka seperti hilang.
      Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka disadarkan kembali dengan pengerahan ilmunya. “Jangan turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan selama tiga tahun. Tapi dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak memberontak! Nah, kalian rakyat kecil, tak ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah!”
      Suara Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk Pengging itu seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam kesaktian. Mereka tak kan mampu menghadapinya.
      “Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini”, kata Sunan Kudus.“Segeralah kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian”
      Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus dan tujuh pengikutnya segera kembali ke Demak.
      Cita-cita Ki Ageng Pengging agar anak turunannya menjadi Raja ternyata kesampaian. Anaknya yang bernama Keberet itu diambil anak angkat oleh Ki Ageng Tingkir dan setelah dewasa bernama Jaka Tingkir. Jaka Tingkir inilah yang bakal memindahkan pusat pemerintahan Demak ke desa Pengging atau Pajang.


Ila hadhroti syayikhina Sunan Kudus,
al- Fatihah….




Sunan Gunung Jati

A. Asal-usul
      Dalam usia masih muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir. Tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar di daratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
      Perjuangan Sunan Gunungjati Seringkali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunungjati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sunan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis.
      Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya. Syarifah Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.
      Syarifah Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesanteren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati. Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.
     

      Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.
      Syarif Hidayatullah kemudian menlanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah dikaruniai dua orang anak yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya Masjid Demak.
      Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
      Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti: Surantaka, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seroang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.
      Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negri Cina dan kawin dengan putri kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dengan negeri Cina. Hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
      Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien diganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar, ayah putri Ong Tien ini membekali putrinya dengan harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana dan masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina.
      Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya wali songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan alijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat. Selesai membangun masjid, diteruskan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
      Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaannya ke pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tetapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat dim Malaka.
      Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
      Pada tahun 1521 Sultan Demak dipegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
      Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran. Mengapa Pajajaran membantu Portugis? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas. Ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.
      Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu.
      Pengalaman adalah guru yang terbaik. Dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah. Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya.
      Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasuka Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu oleh putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin. Fatahillah kemudian diangkat sebagai Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Fatahillah tidak dapat tinggal lebih lama di Jayakarta, karena Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat.
      Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon kedua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan. Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya.
      Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar Sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kasultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adipati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati. Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568 dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, Pangeran Cakrabuana beliau dimakamkan di Gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai. Fatahillah dimakamkan di tempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.
      Legenda Sunan Gunungjati dan Putri Cina
Kurang lebi sekitar tahun 479, Sunan Gunungjati pergi ke daratan Cina dan tinggal di daerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.
      Daratan Cina sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka di sana Sunan Gunungjati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan tradisional. Di samping itu, pada setiap gerakan fisik dari ibadah shalat sebenarnya merupakan gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur –terutama bila seseorang mau mendirikan shalat dengan baik, benar lengkap dengan amalan sunnah dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak makan daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan shalat lima waktu, makam orang yang berobat kepada Sunan Gunungjati banyak yang sembuh sehingga nama Gunungjati menjadi terkenal di seluruh daratan Cina.
      Di negeri Naga itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan Jenderal Cheng Ho dan sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini sudah masuk Islam.
      Pada suatu ketika Gunungjati berkunjung ke hadapan Kaisar Hong Gie, pengganti Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming. Dalam kunjungan itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan putri Kaisar yang bernama Ong Tien.
      Menurut versi lain yang mirip sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan Gunungjati di negeri Cina adalah karena tidak sengaja. Pada suatu malam, beliau hendak melaksanakan shalat Tahajud. Beliau hendak shalat di rumah tapi tidak bisa khusyu’. Beliau heran, padahal bagi para wali, sahalat tahajud itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
      Kemudian Sunan Gunungjati shalat di atas perahu yang ditambatkan di tepi pantai Cirebon. Di sana beliau dapat shalat dengan khusyu’. Bahkan dapat tidur dengan nyenyak setelah shalat dan berdoa.
      Ketika beliau terbangun, beliau merasa kaget. Daratan pulau Jawa tidak nampak lagi. Tanpa sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan ombak hingga sampai ke negeri Cina.
      Di negeri Cina beliau membuka praktik pengobatan. Penduduk Cina yang berobat disuruhnya melaksanakan shalat. Setelah mengerjakan shalat mereka sembuh. Makin hari namanya makinterkenal, beliau dianggap sebagai shinse atau tabib sakti yang berkepandaian tinggi.
      Kabar adanya tabib asing yang berkepandaian tinggi terdengar oleh Kaisar. Sunan Gunungjati dipanggil ke istana. Kaisar Cina hendak menguji kepandaian Sunan Gunungjati. Sebagai seorang tabib dia pasti dapat mengetahui nama seorang yang hamil muda atau belum hamil.
      Dua orang Kaisar disuruh maju. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun perutnya diganjal dengan bantal sehingga nampak seperti orang hamil. Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil sehingga nampak seperti orang yang belum hamil.
      “Hai tabib! Mana di antara puteriku yang hamil?” tanya Kaisar. Sunan Gunungjati diam sejenak, ia berdoa kepada Tuhan. “Hai orang asing mengapa kau diam? Cepat kau jawab!”, bentak Kaisar Cina.
      “Dia!” jawab Sunan Gunungjati sembari menunjuk putri Ong Tien yang masih perawan. Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikian pula seluruh menteri dan semua orang yang ada di balairung istana Kaisar. Namu tiba-tiba tawa mereka terhenti, karena putri Ong Tien menjerit keras sembari memegangi perutnya. “Ada apa anakku?” tanya Kaisar. “Ayah! Saya benar-benar hamil!”
      Maka gemparlah seisi istana. Ternyata bantal yang di perut Puteri Ong Tien telah lenyap entah kemana. Sementara perut putri yang cantik itu benar-benar membesar seperti orang hamil.
      Kaisar munjadi murka. Sunan Gunungjati diusir dari daratan Cina. Sunan Gunungjati menurut. Hari itu juga ia pamit pulang ke Pulau Jawa. Namun Puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan Gunungjati maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan Gunungjati ke Pulau Jawa.
      Kaisar Hong Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunungjati ke Pulau Jawa. Puteri Ong Tien dibekali harta benda dn barang-barang berharga lainnya seperti bokor, guci emas, dan permata. Puteri cantik itu dikawal oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li Bang seorang menteri negara, Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah salah seorang murid Sunan Gunugjati tatkala beliau berdakwah di negeri Cina.
      Dalam pelayaran ke Pulau Jawa, mereka singgah di Kadipaten Sriwijaya. Begitu mereka datang para penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka merasa heran.
      “Ada apa ini?” Pai Li Bang bertanya kepada tetua masyarakat Sriwijaya. Tetua masyarakat balik bertanya,”Siapa yang bernama Pai Li Bang?” “Saya sendiri”, jawab Pai Li Bang. Kontan Pai Li Bang digotong penduduk di atas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa ke istana Kadipaten Sriwijaya. Setelah duduk di kursi Adipati, Pai Li Bang bertanya,”Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Tetua masyarakat itu menernagkan,”Bahwa Adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan Sriwijaya telah meninggal dunia. Penduduk merasa bingung mencari penggantinya, karena putera Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa.
 Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan.
      Dalam kebingungan itu muncullah Sunan Gunungjati, beliau berpesan bahwa sebentar lagi akan datang rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya Pai Li Bang. Muridnya itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar. Sebab muridnya itu adalah seorang menteri
negara di negeri Cina.
      Setelah berpesan demikian Sunan Gunungjati meneruskan pelayarannya ke Pulau Jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin kagum kepada gurunya yang ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal menyusul ke Pulau Jawa. Pai Li Bang tidak menolak kleinginan gurunya, dia bersedia menjadi Adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat sebagai kadipaten yang paling makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang meninggal dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti dengan nama kadipaten Pai Li Bang. Dalam perkembangannya karena proses pengucapan lidah orang Sriwijaya maka lama kelamaan kadipaten itu lebih dikenal dengan sebutan Palembang hingga sekarang.
      Sementara itu Puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke Pulau Jawa. Sampai di Cirebon dia mencari Sunan Gunungjati. Tapi Sunan Gunungjati sedang berada di Luragung. Puteri itu pun menyusulnya. Pernikahan antara Puteri Ong Tien dengan Sunan Gunungjati terjadi pada tahun 1481, tapi sayang pada tahun 1485 Puteri Ong Tien meninggal dunia. Maka jika anda berkunjung ke makam Sunan Gunungjati di Cirebon janganlah anda merasa heran, di sana banyak ornamen Cina dan nuansa-nuansa Cina lainnya. Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari Cina.



Ila hadhroti syayikhina Sunan Gunung Jati,
al- Fatihah….



Sayyid Maulana Muhammad Hidayatullah
(Sunan Bayat)


Nama asli Sunan Bayat :
Sayyid Maulana Muhammad Hidayatullah
Nama Lain / Gelar-gelar Sunan Bayat adalah:

1. Pangeran Mangkubumi,
      2. Susuhunan Tembayat,
      3. Sunan Pandanaran (II), [Kata-kata Pandanaran juga
          berasal dari bahasa Jawa Kawi yaitu Pandanarang =
           artinya kota Suci]
      4. Wahyu Widayat
     
      Beliau Hidup pada masa Kesultanan Demak dan Giri Kedathon (Pad abad ke-16 M, di era Kesultanan Demak tersebut, Jabatan penasehat Sultan dipegang oleh Sunan Giri, Dan Sunan Giri mendirikan Kerajaan di daerah Giri Gresik dengan nama Giri Kedathon dan merupakan Kerajaan bagian dari kesultanan Demak)
      Makam beliau terletak di perbukitan ("Gunung Jabalkat" berasal dari kata Jabal Katt artinya Gunung yang tinggi dan jauh ) di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang.
      Ayah Sunan Bayat atau Sunan tembayat adalah Sayyid Abdul Qadir yang lahir di Pasai, putra Maulana Ishaq. Beliau diangkat dengan arahan Sunan Giri yang merupakan saudara seayahnya untuk Menjadi Bupati Semarang yang pertama, dan bergelan Sunan Pandan arang.
      Beliau lantas berkedudukan di Pragota, yang sekarang adalah tempat bernama Bergota di kelurahan Randusari, Semarang Selatan. Dahulu Pragota berada sangat dekat dengan pantai, karena wilayah Kota Lama Semarang merupakan daratan baru yang terbentuk karena endapan dan proses pengangkatan kerak bumi. Tanah Semarang diberikan kepada Pandan Arang oleh Sultan Demak. Beliau wafat di Kelurahan Mugassari Semarang Selatan.
      Jadi Sayyid Abdul Qadir adalah Sunan Pandan arang, jabatannya Bupati Semarang, Gelarnya adalah Maulana Islam, lahir di Pasai, wafat di Semarang.
Gelar-gelar Sayyid Abdul Qadir bin Maulana Ishaq :
1. Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang.
2. Sunan Pandanaran 1
3. Maulana Islam
4. Sunan Semarang
            Ibu Sunan Bayat atau istri Sunan Pandanaran I bernama Syarifah Pasai adik Pati Unus @ Raden Abdul Qadir (Mantu Raden Patah Demak) putra Raden Muhammad Yunus dari Jepara putra seorang Muballigh pendatang dari Parsi yang dikenal dengan sebutan Syekh Khaliqul Idrus @ Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al Khayri (wafat di Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madina) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al Mukhrowi (wafat di Parsi) bin Imam Besar Hadramawt Syekh Muhammad Al Faqih Al Muqaddam.

Nasab Sunan Bayat & Sunan Pandanaran I :
      Ada berbagai versi yang beredar ttg Nasab Sunan Pandanaran, sebagian besar babad menyatakan bahwa ia adalah putra dari Pati Unus @ Panembahan Sabrang Lor (sultan kedua Kesultanan Demak) yang menolak tahta karena lebih suka memilih mendalami spiritualitas. Posisi sultan ketiga Demak kemudian diberikan kepada pamannya. Pendapat lain menyatakan bahwa ia adalah saudagar asing, mungkin dari Arab, Persia, atau Turki, yang meminta izin sultan Demak untuk berdagang dan menyebarkan Islam di daerah Pragota. Izin diberikan baginya di daerah sebelah barat Demak. Cerita lain bahkan menyebutkan ia adalah putra dari Brawijaya V, raja Majapahit terakhir, meskipun tidak ada bukti tertulis apa pun mengenainya.
            Berbagai versi di atas tidak dapat dipertanggung jawabkan dan perlu diluruskan. Versi Pertama muncul karena Ki Ageng Pandan Arang memiliki hubungan dekat dengan Pati Unus. Hubungan Ki Ageng pandan Arang atau Ki Ageng Pandanaran atau Sunan Pandanaran dengan Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) menurut Habib Bahruddin adalah hubungan anak angkat dengan ayah angkat.
      Pati Unus mengangkat Sunan Pandanaran sebagai anak angkatnya. Karena Syarifah Pasai adalah adik kandung Pati Unus.
            Pendapat kedua muncul karena Sunan Pandanaran nampak seperti orang asing karena memang memiki darah Arab, sbgmn akan kita lihat dalam data di bawah; namun kisahnya sbg saudagar tidak tepat, lantas pendapat ketiga merupakan kebiasaan mitos setempat melegitimasikan kekuasaan akan suatu daerah karena dianggap sebagai turunan Penguasa Jawa sebelumnya yakni dari Majapahit, riwayat ini amat lemah karena tidak ada bukti tertulis apa pun mengenainya.
      Riwayat dari catatan habib Bahruddin ba'alawi, tahun 1979, telah menggugurkan hikayat atau babad yang menceritakan bahwa Ki Ageng pandanaran adalah anak kandung Pati Unus dan versi-versi lainnya.
Nasab Sunan Pandanaran & Sunan Bayat :
      1. Nabi Muhammad
      2. Sayyidah Fathimah Az-Zahra
      3. Al-Husain
      4. Ali Zainal Abidin
      5. Muhammad Al-Baqir
      6. Ja’far Shadiq
      7. Ali Al-Uraidhi
      8. Muhammad
      9. Isa
      10. Ahmad Al-Muhajir
      11. Ubaidillah
      12. Alwi
      13. Muhammad
      14. Alwi
      15. Ali Khali’ Qasam
      16. Muhammad Shahib Mirbath
      17. Alwi Ammil Faqih
      18. Abdul Malik Azmatkhan
      19. Abdillah
      20. Ahmad Jalaluddin
      21. Jamaluddin Al-Husain
      22. Ibrahim Zainuddin Al-Akbar
      23. Maulana Ishak
24.Maulana Islam @Ki Ageng Pandanaran @Sunan          Pandanaran @Sayyid Abdul Qadir @Sunan Semarang
25.Sunan Bayat @ Sunan Tembayat @ Sunan     Pandanaran II

MAKAM SUNAN TEMBAYAT

            Di Kecamatan Bayat, Klaten, tepatnya di kelurahan Paseban, Bayat, Klaten terdapat Makam Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran atau Sunan Tembayat yang memiliki desain arsitektur gerbang gapura Majapahit. Makam ini menjadi salah satu tempat wisata ziarah Wali Songo. Pengunjung dapat memarkir kendaraan di areal parkir serta halaman Kelurahan yang cukup luas.Sebelum menuju ke Makam , pengunjung melewati Pendopo,yang berada di depan Kelurahan Desa Paseban, di sebelah timur Pendopo, Pengunjung dapat membeli berbagai macam oleh oleh di Pasar Seni.  Setelah mendaki sekitar 250 anak tangga, akan ditemui pelataran dan Masjid. Pemandangan dari pelataran akan nampak sangat indah di pagi hari.
            Sunan Bayat (nama lain: Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, Sunan Pandanaran (II), Ki Ageng Pandanaran, atau Wahyu Widayat) adalah tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan. Tokoh ini terkait dengan sejarah Kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa, meskipun secara tradisional tidak termasuk sebagai Wali Songo. Makamnya terletak di perbukitan (”Gunung Jabalkat”) di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pula konon ia menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Tokoh ini dianggap hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16).
            Terdapat paling tidak empat versi mengenai asal-usulnya, namun semua sepakat bahwa ia adalah putra dari Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Arang, putranya, Pangeran Mangkubumi, menggantikannya sebagai bupati Semarang kedua. Alkisah, ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran – ajaran Islam seperti halnya mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ia yang dulunya sangat baik itu menjadi semakin pudar. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan, begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.
      Sultan Demak Bintara, yang mengetahui hal ini, lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk menyadarkannya. Semula Ki Ageng Pandanaran adalah orang yang selalu mendewakan harta keduniawian. Berkat bimbingan dan ajaran-ajaran Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran bisa disadarkan dari sifatnya yang buruk itu yang akhirnya Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga dan menyamar sebagai penjual rumput. Akhirnya, sang bupati menyadari kelalaiannya, dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.
      Sunan Kalijaga menyarankan Ki Ageng Pandanaran untuk berpindah ke selatan, tanpa membawa harta, didampingi isterinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali, dan Wedi. Namun, diam-diam tanpa sepengetahuannya, sang istri membawa tongkat bambu yang di dalamnya dipenuhi permata. Dalam perjalanan mereka dihadang oleh kawanan perampok yang dipimpin oleh yang namanya sekarang disebut Syekh Domba.
            Maka terjadilah perkelahian dan untung saja pasangan suami istri ini berhasil mengatasinya akhirnya Allah SWT murka kemudian dia berubah menjadi sebuah mahluk dengan perawakan manusia tetapi berkepala domba. Setelah terjadi demikian, akhirnya dia menyadari dan menyesal dengan segala perbuatannya, kemudian menyatakan diri sebagai pengikut Sunan Pandanaran yang kemudian dibawa oleh Sunan Pandanaran ke gurunya yaitu Sunan Kalijaga yang akhirnya kepala dia berubah kembali menjadi kepala manusia seperti semula. Setelah itu Syekh Domba diberi tugas untuk mengisi tempat wudhu pada padasan atau gentong pada masjid yang berada pada puncak bukit Jabalkat, Bayat.
      Akhirnya Ki Ageng Pandanaran berhasil sampai dan menetap di Tembayat, yang sekarang bernama Bayat, dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.

Ila hadhroti syayikhina Sayyid Maulana Muhammad Hidayatullah (Sunan Bayat wa Sunan Pandan Aran),
al- Fatihah….


Raden Patah

Raden Patah adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit dari seorang selir Cina. Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Cina kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang. Tapi pada saat itu selir Cina sedang hamil, Setelah melahirkan Raden Patah, putri Cina dinikahi Arya Damar, melahirkan Raden Kusen. Nama asli Raden Patah adalah Jin Bun. Arya Dilah adalah nama lain Arya Damar, ayah angkat Raden Patah sendiri. Nama asli selir Cina adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong.

A.    Raden Patah Mendirikan Demak
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi bupati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren. Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.
Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara. Nama Demak sendiri diambil dari bahasa Jawa yaitu “Demek” yang artinya tanah becek, karena pada saat itu Glagah Wangi dibangun diatas tanah yang becek atau berair.

B.     Perang Demak dan Majapahit
Perang antara Demak dan Majapahit diberitakan dalam naskah Babad Tanah Jawi. Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Namun sepeninggal Sunan Ampel, Raden Patah tetap menyerang Majapahit. Brawijaya moksa dalam serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri menduduki takhta Majapahit selama 40 hari. Apakah Raden Patah pernah menyerang Majapahit atau tidak, yang jelas ia adalah raja pertama Kesultanan Demak. Menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama/ Sultan Syah Alam Akbar/ Sultan Surya Alam. Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang Pembuka", karena ia memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.

      Pada tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak sebagi pusat pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab undang-undang kerajaan. Kepada umat beragama lain, sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam.
      Raden Patah juga tidak mau memerangi umat Hindu dan Buddha sebagaimana wasiat Sunan Ampel, gurunya. Meskipun naskah babad dan serat memberitakan ia menyerang Majapahit, hal itu dilatarbelakangi persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga memberitakan kalau pihak Majapahit lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.
Keturunan Raden Patah Menurut naskah babad tanah Jawa, Raden Patah memiliki tiga orang istri. Yang pertama adalah putri Sunan Ampel, menjadi permaisuri utama, melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana, yang masing-masing secara berurutan kemudian naik takhta, bergelar Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana. Istri yang kedua seorang putri dari Randu Sanga, melahirkan Raden Kanduruwan. Raden Kanduruwan ini pada pemerintahan Sultan Trenggana berjasa menaklukkan Sumenep. Istri yang ketiga adalah putri bupati Jipang, melahirkan Raden Kikin dan Ratu Mas Nyawa. Ketika Raden Patah meninggal, Raden Kikin dan Raden Trenggana bersaing memperebutkan takhta. Raden Kikin akhirnya mati dibunuh putra sulung Raden Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawata, di tepi sungai. Oleh karena itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya bunga yang gugur di sungai.

C.     Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak - Thread Not Solved Yet
Raden Patah (bergelar Alam Akbar Al Fattah), adalah pendiri Kesultanan Demak, pada tahun 1478. Ia sebenarnya adalah putra raja Majapahit Brawijaya. Ibunya adalah keturunan Champa (sekarang di perbatasan Kamboja dan Vietnam) yang beragama Islam. Dalam pemerintahannya, ia banyak dibantu oleh para Walisongo yang beberapa diantaranya memiliki berkerabat dengannya melalui jalur ibu.
Pada awal abad keempat-belas, Kaisar Yan Lu dari dynasti Ming mengirimkan seorang Putri kepada Brawijaya dikerajaan Majapahit sebagai tanda persahabatan kedua negara. Putri yang cantik-jelita dan pintar ini segera mendapatkan tempat istimewa dihati Raja. Raja Brawijaya sangat tunduk pada semua kemauan sang puteri jelita, yang nantinya membawa banyak pertentangan dalam istana Majapahit.
Pada saat itu, Raja Brawijaya sudah memiliki permaisuri yang berasal Champa, masih kerabat Raja Champa dan memiliki julukan Ratu Ayu Kencono Wungu. Makamnya saat ini ada di Trowulan, Mojokerto. Sang permaisuri memiliki ketidak cocokan dengan putri pemberian Kaisar Yan Lu.


      Akhirnya Raja Brawijaya dengan berat hati harus menyingkirkan Puteri cantik ini dari Majapahit. Dalam keadaan mengandung Puteri cantik itu dihibahkan oleh Raja Brawijaya kepada Adipati Palembang, Arya Sedamar. Dan disanalah Jim-Bun atau Raden Patah dilahirkan.
      Dari Arya Sedamar, putri ini memiliki seorang anak laki laki. Dengan kata lain Raden Patah memiliki adik laki laki seibu, tapi berbeda ayah.
      Setelah memasuki usia belasan tahun, Raden Patah, bersama adiknya, dan diantar ibunya berlayar ke Pulau Jawa untuk belajar di Ampel Denta. Raden Patah mendarat dipelabuhan Tuban sekitar tahun 1419 Masehi.
Ibunda Raden Patah setelah mangkat disemayamkan di Rembang.
      Jim-Bun atau Raden Patah sempat tinggal beberapa lama di Ngampel-delta dirumah pamannya, kakak-misan ibunya, Sunan Ngampel dan juga bersama para saudagar besar muslim ketika itu.
      Disana ia pula mendapat dukungan dari rekan-rekan utusan Kaisar Cina, Panglima Cheng Ho atau juga dikenal sebagai Dampu-awang atau Sam Poo Tai-jin. Panglima berasal dari Xin-Kiang, pengenal Islam.
      Raden Patah memiliki dua orang putra, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen dan Pangeran Trenggono, serta bermenantukan Pati Unus dan Fatahillah. Raden Patah meninggal tahun 1518, dan digantikan oleh menantunya Pati Unus.



D.    Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak
            Sejarah keturunan Tionghoa di Asia Tenggara yang tak dikenal chalayak ramai Sdr-sdr sekalian,
Dibawah ini saya sampaikan serial berjudul “Sejarah ket. Tionghoa di Asia Tenggara yang tak dikenal khalayak ramai”, yang dimuat oleh Indonesia Media di California dalam 5
(lima) bagian pada tahun 2003. Peranan penting dari pihak orang Tionghoa, bila diketahui umum, akan meninggihkan pandangan terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia. Image yang baik dapat mencegah kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
            Sejarah keturunan Tionghoa di Asia Tenggara yang tak dikenal chalayak ramai. Kutipan dari buku “The 6th overseas Chinese state“, Nanyang Huaren, CSEAS, J.C.Univ. of N-Queensland, Australia 1990, penyunting Sie Hok Tjwan tentang: 1) Palembang 2) Demak, Banten, Cirebon 3) Kalimantan Barat (babak 7 halaman 65 - 99).
Palembang (Ku-kang) Pada tahun 1275 Kertanagara Raja Singasari terachir di Jawa Timur mengirim ekspedisi militer ke Dharmasraya (Sriwijaya, Sumatera Selatan dengan ibu kota Palembang). Catatan tahun 1286 menunjukkan serangan tsb berhasil dan Sriwijaya direbut. Namun tahun 1292 Kertanagara sendiri terbunuh oleh pemberontakan Kediri dan Singasari jatuh. Tanah bekas Sriwijaya terlantar, keadaan kacau.
O.W. Wolters menulis dalam buku “The fall of Srivijaya in Malay history” hal. 73, bahwa di Palembang tidak ada penguasa kepada siapa dapat ditujukan peringatan kaisar Tiongkok T’ai-tsu. Tindakan kaum pedagang Tionghoa mencerminkan bagaimana besarnya kekacauan pada waktu itu. Mereka telah memilih pimpinan sendiri. Jalan yang ditempuh Palembang dengan pemerintah Tionghoa perantauannya (with its overseas Chinese government) untuk memulihkan keadaan adalah sesuai dengan pandangan bahwa orang Tionghoa telah menyaksikan suatu keadaan yang tak dapat dibiarkan dan mereka bertekad tidak boleh berlarut-larut.
            Victor Purcell dalam buku “The Chinese in Malaya” hal.14 menyatakan setelah kerajaan Sriwijaya ambruk, Palembang telah dikuasai orang-orang Tionghoa selama 200 (duaratus) tahun. Ketika kejayaan Sriwijaya surut sekian ribu orang Tionghoa dari Fukien dan Canton yang telah menetap disana telah memerintah diri sendiri.
      Lukisan tersebut diatas selaras dengan catatan Dinasty Ming Tiongkok, bahwa orang Jawa tak mampu menguasai seluruh negara sesudah San-bo-tsai (Sriwijaya) ditaklukkan. Karena itu, demikian Ming Dynasty records tsb, orang Tionghoa setempat telah berdiri sendiri. Seorang dari Nan-Hai (Namhoi) Canton bernama Liang Tau-ming telah terpilih sebagai pemimpin. Beliau menguasai sebagian negara dan puteranya ikut dengan utusan kaisar kembali ke Tiongkok. Pada tahun 1405 kaisar mengutus seorang kurir dari desa asalnya Liang Tau-ming dengan perintah agar Liang Tau-ming menghadap ke istana. Liang Tau-ming bersama kawan seperjuangannya Cheng Po-k’o berangkat membawak produk-produk setempat sebagai upeti. Mereka pulang dengan membawak hadiah yang berlimpah-limpah. Tahun 1407 atau shortly after that Laksamana Islam Cheng Ho mendirikan masyarakat Islam Tionghoa di Palembang. Tahun 1415 Palembang oleh kaisar Tiongkok diakui sebagai berada dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Pendapat Purcell, bahwa Palembang dikuasai orang-orang Tionghoa selama 200 tahun mungkin karena pihak Jawa secara de facto belum dapat mengatasi keadaan dengan betul, mungkin juga karena seperti tersebut dibawah ini penguasa yang dikirim dari Jawa adalah orang Tionghoa.
      Disini kami menjumpai buku Prof. Dr. Slamet Muljana “Runtuhnja keradjaan Hindu Djawa dan timbulnja negara-negara Islam di Nusantara”. Prof. Muljana bukan etnik Tionghoa seperti didesas-desuskan, melainkan seorang Priayi bekas anggauta Tentara Peladjar. Buku ini tahun 1971 dilarang oleh Kejaksaan Agung. Meskipun sumber keterangan dari tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan “Tuanku Rao” yang tersebut didalamnya tak dapat ditrasir, Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th. Pigeaud dengan panjang lebar telah memperbincangkan serta mengkomentari data Parlindungen sebagai “The Malay Annals of Semarang and Cerbon” didalam buku “Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centuries”. Buku Prof. Muljana sendiri mengandung cukup banyak data lain yang sangat menarik perhatian.
      Kerajaan Majapahit juga berdiri kurang lebih 200 (duaratus) tahun. Menurut Prof. Muljana dari 1294 hingga 1478 dan sedari itu menjadi sub-state dibawah para penguasa Kerajaan Islam Demak hingga Majapahit tiada lagi, yaitu tahun 1527. Prof. Hoesein Djajadiningrat telah menentukan kehancuran Majapahit sekitar tahun 1518. Malay Annals yang masih diperselisihkan itu menyebutkan perkembangan sebagai berikut : tahun 1443 Swan Leong (Arya Damar) putera alm. Raja Majapahit dengan seorang wanita Tionghoa, oleh Haji Gan Eng Chou (Arya Teja) telah ditunjuk sebagai kapten Muslimin Tionghoa di Palembang sekalian menjadi penguasa atas nama saudara perempuan-tirinya, yaitu Ratu Suhita dari Majapahit. Gan Eng Chou adalah kapten Tionghoa di Tuban, Jawa Timur. Beliau oleh Ratu telah dianugerahi gelar Arya sebagai bukti penghargaan terhadap jasa-jasanya. Prof. Muljana berkesimpulan hal tersebut menunjukkan suatu sikap yang sangat baik dari pihak keluarga Raja terhadap orang Tionghoa. Mengenai pemerintahan Tionghoa Perantauan di Palembang, Amen Budiman juga menunjuk pada dokumen-dokumen sejarah Dinasti Ryukyu dan pada reset yang dilakukan oleh Tan Yeok Seong, seorang sinologist yang berpangkal di South Sea Society Singapura. Hingga belum lama ini Palembang terkenal sebagai tempat yang tidak anti-Tionghoa.
      Kertanagara, raja Singasari yang terachir, pada tahun 1289 telah menantang wibawa kaisar Monggol Kublai Khan, yang masa itu berkuasa di Tiongkok. Beliau memulangkan utusan kaisar dengan muka yang dilukai. Kublai Khan mengirim tentaranya ke Jawa. Tetapi sebelum kedatangan tentara tsb Kertanagara pada tahun 1292 telah tewas disebabkan pemberontakan Kediri. Singasari jatuh. Ketika tentara Kublai Khan tiba, Raden Wijaya, kemenakan dan menantunya Kertanagara, menyerahkan diri pada pimpinan tentara Monggol dan menyatakan, bahwa Raja Kediri Jayakatwang telah menggantikan Kertanagara. Raden Wijaya berhasil membujuk tentara Kublai Khan untuk menjatuhkan Daha (Kediri). Setelah tentara Kediri hancur, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Kublai Khan. Beliau minta diberi 200 pengawal Monggol/Tionghoa yang tak bersenjata untuk kepergiannya ke kota Majapahit dimana beliau akan menyerah dengan resmi pada wakil-wakil Kublai Khan. Ditengah perjalanan para pengawal dibantai dan sebagian lain tentara Monggol yang tidak menduganya dapat dikepung. Siasat Raden Wijaya menghasilkan pihak Monggol kehilangan 3000 orang dan terpaksa meninggalkan pulau Jawa tanpa hadiah-hadiah  yang dijanjikan. Tahun 1293-94 Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit di Jawa Timur.

            Kublai Khan, cucunya Jengiz Khan, meninggal 18 Pebruari 1294. Antara tahun 1325 dan 1375 hubungan Majapahit dengan Tiongkok telah membaik. Sang Adityawarman yang dibesarkan di Majapahit dan yang kemudian menjadi Raja Sumatera-Barat telah mengunjungi istana kaisar Tiongkok sebagai menteri dan utusan Majapahit pada tahun 1325 dan sekali lagi pada thn 1332.
            Sifat pemancaran kejayaan Tiongkok jaman lampau berbeda bumi sama langit dengan sifat kolonialis Eropa. Cuplikan-cuplikan berikut adalah hasil penyelidikan beberapa pakar sejarah yang menggambarkan perbedaan tsb.
      O.W. Wolters dalam bukunya “The fall of Srivijaya in Malay history” hal. 50, 52:
            Pada tanggal 30 Oktober 1371 kaisar T’ai-tsu mengeluarkan pengumuman dengan petunjuk untuk para pejabatnya: “menguasai tanah yang terlalu besar tidak mendatangkan ketenteraman. Bila rakyat diharuskan bekerja terlalu berat, keadaan itu menjadi sumber kekacauan” pernyataan-pernyataan T’ai-tsu kepada penguasa-penguasa asing mengandung banyak saran kebijaksanaan. Daripada menganjurkan mereka untuk berdagang dengan Tiongkok, beliau menginginkan mereka berkuasa dengan baik, memelihara hubungan mesra dengan negara tetangganya dan saling mengindahkan tapal-batas masing-masing, Jika T’ai-tsu curiga ada penguasa asing berakal bulus serta mengirim utusan dengan maksud yang tidak jujur, beliau lebih baik menolak upeti mereka. Misalnya, upeti perampas-perampas kuasa (usurpers) tidak dapat diterima olehnya (were unacceptable to him).
            Dr. John Crawfurd (bukan Crawford) mengenai pembayaran upeti kepada kaisar Tiongkok: Hubungan Tiongkok-Siam jaman lampau mengandung unsur yang di satu pihak berdasarkan “vanity” (pengumpakan diri) dan di lain pihak berdasar pada “rapacity” (nafsu menggarong, lebih jelek daripada serakah/greedy). Raja Siam mengaku dirinya sebagai pembayar upeti terhadap kaisar Tiongkok bukan karena terpaksa dan bukan karena berada dibawah kekuasaan kaisar, melainkan demi menghindarkan pembayaran bea bagi kapal-kapal yang membawak utusan-utusannya ke Tiongkok. Para utusan tersebut mempersembahkan bunga dari mas sebagai tanda upeti, tetapi menerima dari kaisar hadiah-hadiah yang jauh lebih berharga sebagai tanda penghargaan. Negara-negara lain yang lemah mengakui kaisar Tiongkok karena sebagai imbalannya mendapat perlindungan terhadap gangguan-gangguan dari luar.
      Dalam arsip Tiongkok tercatat bahwa pada tahun 1376 ketika dinasti Yuan (Monggol) sudah digantikan oleh dinasti Ming (1368-1644) raja Tan-ma-sa-na-ho wafat. Tidak jelas apa nama aslinya, tetapi kawasan yang dipersoalkan menyangkut tanah bekas Sriwijaya. Raja yang wafat digantikan oleh puteranya yang disebut sebagai Ma-la-cha Wu Li. Menurut Groeneveldt mungkin putera tersebut. adalah Maharadja Wuli, tetapi menurut Slamet Muljana beliau ini Maharadja Mauliwarmadewa. Tahun berikutnya maharaja mengirim upeti kepada kaisar Tiongkok berupa barang-barang dan binatang-binatang chas dalam negeri. Utusan-utusannya menyampaikan pesanan bahwa putera tersebut segan naik tahta atas wewenang sendiri serta mohon mendapat ijin kaisar (dengan maksud mendapat perlindungannya). Kaisar memuji perasaan tanggungjawab maharaja dan memberi perintah untuk menyampaikan segel (cap, seal) kepadanya disertai pengangkatan beliau sebagai raja San-bo-tsai (Sriwijaya). Namun pada waktu itu Sriwijaya sudah dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Raja Majapahit sangat murka mendengar kaisar telah menunjuk raja untuk San-bo-tsai dan mengirim anak buahnya untuk mencegat dan membunuh utusan kaisar. Kaisar dapat mengerti kemurkaan raja Majapahit dan tidak mengadakan pembalasan. Setelah kejadian ini lambat-laun San-bo-tsai/Sriwijaya jatuh miskin dan tidak datang lagi upeti dari kawasan itu. Catatan tsb sesuai dengan kenyataan bahwa bekas Sriwijaya terlantar dan kacau. Keguncangan Singasari-Kediri dan belum terkonsolidasinya Majapahit menyebabkan pihak Jawa tidak mampu mengurus tanah Sriwijaya yang tadinya ditaklukkan oleh Kertanagara.
            Tentang perang saudara Paregreg di Majapahit tercatat bahwa dalam tahun 1405 sida-sida (eunuch) Laksamana Cheng Ho telah diutus ke Majapahit yang dewasa itu dikuasai oleh dua raja, Raja Timur dan Raja Barat. Tahun berikutnya kedua raja saling berperang. Raja Timur dikalahkan dan kerajaannya hancur. Pada itu waktu utusan-utusan kaisar kebetulan berada di negara Raja Timur. Ketika prajurit-prajurit Raja Barat masuk ke tempat pasar, 170 orang dari utusan kaisar terbunuh, hal mana membuat Raja Barat kuatir serta mengirim utusan minta maaf. Kaisar mengeluarkan pengumuman sangat mencela Raja Barat dan menuntut pembayaran enam-puluh ribu tail mas sebagai denda. Tahun 1408 Cheng Ho sekali lagi diutus ke negara ini dan Raja Barat memberi sepuluh ribu tail mas. Petugas-Petugas Dewan Tatacara di Tiongkok melihat jumlah tidak cukup dan bermaksud mempenjara utusan yang membawanya, tetapi kaisar mengatakan: “Yang saya kehendaki dari orang-orang yang hidup dijauhan yalah mereka menginsyafi kesalahannya. Saya tidak ingin memperkaya diri dengan masnya.” Seluruh denda dikembalikan. Sedari itu mereka terus-menerus membawa upeti. Terkadang sekali dalam dua tahun, ada kalanya lebih dari satu kali setahunnya. Para utusan Wu Pin dan Cheng Ho seringkali mengunjungi Majapahit.

           
E.   Demak, Banten, Cirebon
            Pada dasawarsa-dasawarsa terakhir abad ke 15 di Jawa Tengah telah didirikan kerajaan Islam Demak yang berlangsung dari 1475/1478 hingga 1546/1568. Pendirinya adalah puteranya Cek Ko-Po dan berasal Palembang dimana ketika itu terdapat masyarakat Islam Tionghoa yang besar. Beliau terkenal dengan nama Raden Patah (AL Fatah), alias Jin Bun / Panembahan Jimbun / Arya (Cu-Cu) Sumangsang / Prabu Anom. Orang-orang Portugis menyebutnya Pate Rodin Sr. Menurut orang Portugis Tome Pires, beliau seorang “persona de grande syso”, a man of great power of judgement, seorang satria (cavaleiro, a knight, a nobleman). Terkaan bahwa Jimbun nama suatu tempat dekat Demak tidak masuk akal. Penjelasan prof. Muljana nama Jin Bun berarti “orang kuat” dalam dialek Tionghoa-Yunnan. Semasa dynasti Yuan (Monggol) di propinsi Yunnan terdapat banyak penganut agama Islam.
            Kalangan berkuasa Demak sebagian besar terdiri dari orang-orang keturunan Tionghoa. Sebelum jaman kolonial pernikahan antara orang Tionghoa dengan orang Pribumi merupakan hal yang normal. Dr. Pigeaud dan Dr. de Graaf telah menggambarkan keadaan pada abad ke 16. di kota-kota pelabuhan pulau Jawa kalangan berkuasa terdiri dari keluarga-keluarga campuran, kebanyakan Tionghoa peranakan Jawa dan Indo-Jawa. Sumber-sumber sejarah pihak Pribumi Indonesia menyebut, dalam abad ke 16 sejumlah besar orang Tionghoa hidup di kota-kota pantai Utara Jawa. Disamping Demak, juga di Cirebon, Lasem, Tuban, Gresik (Tse Tsun) dan Surabaya. Banyak orang Tionghoa Islam mempunyai nama Jawa dan dengan sendirinya juga nama Arab. Pada jaman itu sebagai Muslimin mempunyai nama Arab meninggihkan gengsi.
      Salah satu cucunya Raden Patah tercatat mempunyai cita-cita untuk menyamai Sultan Turki. Menurut De Graaf dan Pigeaud, Sunan Prawata (Muk Ming) raja Demak terachir yang mengatakan pada Manuel Pinto, beliau berjuang sekeras2nya untuk meng-Islamkan seluruh Jawa. Bila berhasil beliau akan menjadi “segundo Turco” (seorang Sultan Turki ke II) setanding sultan Turki Suleiman I dengan kemegahannya. Nampaknya beliau telah mengunjungi Turki.
      Sumber-sumber Pribumi menegaskan raja-raja Kerajaan Demak orang Tionghoa atau Tionghoa peranakan Jawa. Terlalu banyak untuk memuat semua nama-nama tokoh sejarah yang di-identifikasi sebagai orang Tionghoa. Diantaranya Raden Kusen (Kin San, adik tiri Raden Patah), Sunan Bonang (Bong Ang, putera Sunan Ngampel alias Bong Swee Ho), Sunan Derajat juga putera Sunan Ngampel, Sunan Kalijaga (Gan Si Chang), Ja Tik Su (tidak jelas beliau Sunan Undung atau Sunan Kudus. Ada sumber mengatakan Sunan Undung ayah Sunan Kudus dan menantunya Sunan Ngampel), Endroseno, panglima terachir tentara Sunan Giri, Pangeran Hadiri alias Sunan Mantingan suami Ratu Kalinyamat, Ki Rakim, Nyai Gede Pinatih (ibu angkatnya Sunan Giri dan keturunannya Shih Chin Ching tuan besar (overlord) orang Tionghoa di Palembang), Puteri Ong Tien Nio yang menurut tradisi adalah isterinya Sunan Gunung Jati, Cekong Mas (dari keluarga Han, makamnya terletak didalam suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo Jawa Timur dan dipandang suci), Adipati Astrawijaya, bupati yang diangkat oleh VOC Belanda tetapi memihak pemberontak ketika orang-orang Tionghoa di Semarang berontak melawan Belanda pada tahun 1741 dan Raden Tumenggung Secodiningrat Yokyakarta (Baba Jim Sing alias Tan Jin Sing). Menurut prof. Muljana, Sunan Giri dari pihak ayahnya adalah cucu dari Bong Tak Keng, seorang Muslim asal Yunnan Tiongkok yang terkenal sebagai Raja Champa, suatu daerah yang kini menjadi bagian Vietnam. Bong Tak Keng koordinator Tionghoa Perantauan di Asia Tenggara. Ayah ibunya Sunan Giri adalah Raja Blambangan, Jawa Timur. Giri nama bukit di Gresik.
            Pengaruh arsitektur Tionghoa terlihat pada bentuk masjid-masjid di Jawa terutama di daerah-daerah pesisir bagian Utara. Agama Islam yang pertama masuk di Sumatera Selatan dan di Jawa mazhab (sekte) Hanafi. Datangnya melalui Yunnan Tiongkok pada waktu dynasti Yuan dan permulaan dynasti Ming. Prof. Muljana berpendapat bila agama Islam di pantai Utara Jawa masuknya dari Malaka atau Sumatera Timur, mazhabnya Syafi’i dan/atau Syi’ite dan ini bukan demikian halnya. Beliau menekankan mazhab Hanafi hingga abad ke 13 hanya dikenal di Central Asia, India Utara dan Turki. Meskipun agama Islam pada abad ke 8 sudah tercatat di Tiongkok, Mazhab Hanafi baru masuk Tiongkok jaman dynasti Yuan abad ke 13, setelah Central Asia dikuasai Jengiz Khan.
            Kepergian banyak Muslim Tionghoa (exodus) dari Tiongkok terjadi pada tahun 1385 ketika diusir dari kota Canton. Jauh sebelum itu, Champa sudah diduduki Nasaruddin jendral Muslim dari Kublai Khan. Jendral Nasaruddin diduga telah mendatangkan agama Islam ke Cochin China. Sejumlah pusat Muslim Tionghoa didirikan di Champa, Palembang dan Jawa Timur.
            Ketika pada thn.1413 Ma Huan mengunjungi Pulau Jawa dengan Laksamana Cheng Ho, beliau mencatat agama Islam terutama agamanya orang Tionghoa dan orang Ta-shi (menurut prof. Muljana orang-orang Arab). Belum ada Muslimin Pribumi. Pada tahun 1513-1514 Tome Pires mengambarkan kota Gresik sebagai kota makmur dikuasai oleh orang-orang Muslim asal luar Jawa. Pada tahun 1451 Ngampel Denta didirikan oleh Bong Swee Ho alias Sunan Ngampel untuk menyebarkan agama Islam mazhab Hanafi diantara orang-orang Pribumi. Sebelum itu beliau mempunyai pusat Muslim Tionghoa di Bangil. Pusat ini ditutup setelah bantuan dari Tiongkok berhenti karena tahun 1430 hingga 1567 berlaku maklumat kaisar melarang orang-orang Tionghoa untuk meninggalkan Tiongkok.
      Sangat menarik perhatian karena saya alami sendiri, setidaknya hingga jaman pendudukan Jepang, rakyat kota Malang Jawa Timur masih mempergunakan sebutan “Kyai” untuk seorang lelaki Tionghoa Totok. Kyai berarti guru agama Islam. Padahal yang dijuluki itu bukan orang Islam. Kebiasaan tersebut peninggalan jaman dulu. Gelar Sunan berasal dari perkataan dialek Tionghoa Hokkian “Suhu, Saihu”. 8 Orang Wali Songo mazhab Hanafi bergelar Sunan. Satu dari Wali Songo mazhab Syi’ite bergelar Syeh dari bahasa Arab Sheik.
            Kesimpulan wajar, para aktivis Islam mazhab Hanafi di Asia Tenggara semasa itu semuanya orang Tionghoa. Sedikit banyak dapat dipersamakan dengan penyebaran agama Kristen dari Eropa ke lain-lain benua. Hingga abad ke 19 kaum penyebar diatas tingkat lokal dapat dikatakan semuanya orang Eropa. Tanah Tiongkok hampir seluas Eropa. Membuat perbandingan dengan Tiongkok tidak dapat dilakukan dengan salah satu negara Eropa tetapi harus dengan seluruh Eropa. Seperti juga suku2 Eropa dengan bahasa-bahasanya berbeda satu sama lain, demikian pula terdapat perbedaan antara suku-suku dengan bahasa-bahasanya di Tiongkok. Keunggulan Tiongkok memiliki tulisan ideogram yang dapat dimengerti meskipun bahasanya berlainan.
            Kerajaan Islam Demak runtuh disebabkan perang saudara antara cucu-cucunya Jin Bun (Raden Patah).
Raja-raja Demak adalah:
1.      Jin Bun alias Al-Fatah (Raden Patah) 1478 - 1518
2.     Yat Sun alias Adipati Yunus 1518 - 1521
3.     Tung Ka Lo alias Trenggana 1521 - 1546
4.     Muk Ming alias Sunan Prawata 1546 - 1546
            Muk Ming dikalahkan dan terbunuh oleh Arya Penangsang Jipang, seorang cucu lain dari Raden Patah. Penangsang Jipang sendiri kemudian dibunuh oleh iparnya Muk Ming. Kerajaan Islam Demak tiada lagi karena ipar tsb mempunyai negara sendiri di Pajang di pedalaman Jawa Tengah dan merupakan orang Islam mazhab Shi’ite, bukan mazhab Hanafi.
            Angkatan Laut Demak dua kali dengan sia-sia menyerang kekuatan Portugis di Malaka dan satu kali di Maluku. Namun pada tahun 1526-1527 Sunan Gunung Jati alias Fatahillah / Toh A Bo / Pangeran Timur, panglima kerajaan Demak, merebut Sunda Kalapa dan berhasil mengusir orang Portugis yang datang dengan maksud membangun benteng. Nama Sunda Kalapa oleh beliau diganti menjadi Jayakarta. Prof. Djajadiningrat menterjemahkan arti Jayakarta sebagai “kemenangan yang tercapai” (volbrachte zege, achieved victory). Dr. de Graaf menyebut adanya laporan sejarawan Portugis bernama de Couto yang mengatakan pada tahun 1564 the martial king of Aceh Ala’ad-Din Shah telah minta pada “Raja Demak, Kaisar Jawa” (o Rey de Dama, Imperador do Jaoa) untuk membantu ekspedisinya menghadapi orang Portugis di Malaka. Nampaknya 18 tahun setelah runtuhnya kerajaan Demak, di tempat tersebut masih terdapat kekuasaan yang oleh the mighty king of Aceh dipandang cukup berkuasa untuk diajak bersekutuan. Pada tahun 1574, jauh setelah kerajaan Demak tiada lagi, Ratu Kalinyamat dari Japara, cucu perempuan Raden Patah, masih merasa cukup kuat untuk mengirim kapal-kapal perang menyerang orang Portugis di Malaka.
      Setelah merebut Sunda Kalapa, Sunan Gunung Jati menjadi Sultan Banten dan membentuk masyarakat Islam disana. Kesultanan Banten kemudian beliau serahkan kepada Hasanuddin, puteranya, dan yang belakangan ini oleh tradisi Jawa dipandang sebagai raja Banten yang pertama. Pada tahun 1552 Sunan Gunung Jati datang ke masyarakat Muslim Tionghoa di Cirebon. Beliau kecewa dengan adanya saling bunuh-membunuh antara cucu-cucunya Raden Patah. Sunan Gung Jati mengabulkan permintaan Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi untuk mendirikan kesultanan di Cirebon seperti Demak dulu. Sebagai orang yang sudah berumur lanjut beliau menjadi sultan Cirebon yang pertama, menikah dengan puterinya Haji Tan Eng Hoat dan putera mereka menjadi Sultan Cirebon yang ke II.
      Orang membayangkan bagaimana jalannya sejarah dunia bila kaisar Tiongkok T’ai-tsu tidak kehilangan perhatian terhadap dunia luar. Antara 1430 dan 1567 orang Tionghoa dilarang meninggalkan tanah leluhurnya. Angkatan Laut Tiongkok yang canggih dengan teknologi yang jauh lebih tinggi tingkatnya daripada kapal-kapal  Eropa, diterlantarkan. Tahun 1431 yaitu 61 tahun sebelumnya Columbus, kapal-utama Laksamana Cheng Ho berukuran 140 meter, sedangkan panjangnya kapal Columbus hanya 30 meter. Peninggalan-peninggalan yang diketemukan menunjukkan Australia dan Amerika Latin telah dikunjungi oleh pelaut Tionghoa. Adanya angin Timur serta arus Pacific dewasa itu jelas sudah diketahui orang Tionghoa. Kapal Tiongkok mempergunakan watertight bulkheads sedari abad ke 2 Masehi (2nd century AD). Prinsip tsb baru dikenal di Eropa sekitar tahun 1800, seribu enam ratus tahun kemudian. Seumpamakata armada Cheng Ho tidak dipereteli dan terjadi konfrontasi dengan kapal perang Eropa, Tiongkok tidak akan tertidur, tidak akan kepergok dalam keadaan lemah. Dengan perang-candu (1839 - 1842) Inggris memaksa Tiongkok untuk mengijinkan impor candu yang telah menghancurkan tenaga rakyat secara besar-besaran. Selama satu abad setelah perang-candu, Tiongkok hampir ambruk diserang Inggris, Jerman, Perancis, Jepang dll negara yang sedang jaya.
            Dr. Kwee Swan Liat mengutip sejarawan Inggris Joseph Needham sbb.: Ilmu pengetahuan modern berdiri atas dasar teknologi abad pertengahan yang sebagian besar bukan asal Eropa. Selama abad ke 1 hingga abad ke 14 Masehi, Tiongkok telah membanjiri Eropa dengan penemuan-penemuan, tanpa Eropa mengetahui dari mana asalnya. Teknik-teknik numerational dan computational, pengetahuan dasar magnetical phenomena, efficient equine harness, teknologi besi dan baja, penemuan bahan peledak dan kertas, lonceng mekanik, driving belt, chain-drive, cara standard converting rotary to rectilinear motion, segmental arch bridges, nautical techniques seperti stern-post rudder, imunisasi, inokulasi dsb. Semua ini mengakibatkan kegemparan di dunia Barat. William Harvey sebelum tahun 1616 telah menemukan adanya aliran darah dalam tubuh manusia. Hal itu di Tiongkok sudah dikenal lima ratus tahun duluan.
      Pada tahun 1574 Lim Ah Hong, seorang yang berada diluar perlindungan hukum (an outlaw) mengepung benteng Spanyol di Pilipina serta nyaris merebut Manila. Kemampuan seorang outlaw Tionghoa untuk mengguncangkan kekuasaan Spanyol di Asia, membuat gubernur Spanyol mengingini hubungan baik dengan kaisar Tiongkok. Tahun 1661 Koxinga mengalahkan Belanda di Taiwan. Satu tahun kemudian beliau mengirim ultimatum kepada penguasa Spanyol di Pilipina untuk menyerah kepadanya atau dihancurkan. Sayang tahun itu juga, ketika orang-orang Spanyol sedang panik memperkuat benteng-benteng pertahanannya, datang berita Koxinga meninggal dunia.
            Lain dari apa yang diajarkan di sekolah-sekolah Belanda, penemuan bahan peledak di Tiongkok tidak hanya dipergunakan untuk mercon saja. Sedari permulaan, bahan peledak dipergunakan untuk keperluan militer. Pada dynasti T’ang (618-907) bahan peledak “nitre” dan alkimia Tionghoa dikenal orang-orang Arab dan Persia sebagai “salju Tionghoa” dan “garam Tionghoa”. Abad ke 13 bahan peledak Tionghoa mulai dikenal Eropa melalui orang Arab yang masa itu berkuasa di Spanyol. Buku-buku Arab jaman itu mencatat “botol-botol besi” yang dipergunakan oleh tentara Monggol dalam abad ke 13. Pihak Arab memperoleh bermacam-macam senjata api lewat orang Monggol. Antara lain senapan sederhana dan senapan petir. Tidak lama kemudian orang Arab dapat membuatnya sendiri. Senjata dan roket Arab “Qidan” berdasarkan model Tionghoa. Dewasa itu Tiongkok di Eropa terkenal sebagai Qidan. Baru tahun 1326 Inggris, Perancis dan lain negara2 Eropa untuk pertama kalinya membuat alat-alat perang yang berasal Tiongkok ini. Senjata-api “blunderbus” yang dipergunakan di Eropa sekitar permulaan abad ke 14 asal-usulnya di Tiongkok.


F.     Kalimantan-Barat
      Pada dasarnya Indonesia terdiri dari bagian-bagian yang dahulu mempunyai kedaulatan sendiri seperti kerajaan, kesultanan dsb. Dalam abad ke 18 dan abad ke 19 di Kalimantan-Barat selain kerajaan/kesultanan terdapat juga sejumlah negara republik. Berapa jumlah semuanya tidak jelas. Saya sebut 3 yang paling besar. Republik Thai Kong dengan tentara 10.000 orang, Republik Lan Fong 6.000 orang dan Lara Sin-Ta-Kiou 5.000 orang. Masing2 negara republik tsb terdiri dari suku2 tertentu. Hubungannya satu sama lain sedemikian rupa hingga mudah diadu-domba oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah perang melawan Belanda dengan pertumpahan darah yang besar pada tahun 1854 hanya tinggal satu Republik Lan Fong yang achirnya berdiri 107 tahun. Meskipun thn. 1884 Belanda berhasil menghancurkannya, daerah tsb baru thn. 1912 berhasil diamankan. Sisa pusat perlawanan Lan Fong pertama-tama menyingkir ke Sarawak. Disana mereka terkenal dibawah bendera Sam Tiam Hui.
            107 Tahun Republik Lan Fong lebih lama daripada negara persatuan Jerman bentukan Bismarck, yang setelah kira-kira 75 tahun pecah menjadi Jerman Timur dan Barat. Ditambah 12-13 tahun setelah dipersatukan lagi juga belum 100 tahun. Belgia terbentuk tahun 1830 hingga kini 173 tahun dan dengan demikian berumur kurang daripada self-government orang2 Tionghoa di Palembang yang menurut Victor Purcell berlangsung selama 200 tahun.
            Pejabat pemerintah Belanda Dr. J.J.M. de Groot fasih bahasa Tionghoa adalah saksi-mata Republik Lan Fong. Buku de Groot “Het Kongsiwezen van Borneo” terbit tahun 1885 mengandung keterangan yang berharga. Beliau berkesempatan meninjau keadaan dari kedua belah pihak. Kami kutib tentang “… (sebutan de Groot) kongsi atau republik Tionghoa yang dahulunya ada di Kalimantan Barat…” sebagai berikut:
            Tahun 1885 ini pun (setahun setelah Lanfong hancur) tentara Belanda masih menghadapi perlawanan. Orang-orang Lan Fong inilah yang tadinya mengolah pertambangan mas di Kalimantan hingga daerah ini menjadi makmur seperti belum pernah terjadi disini. Ketika thaiko Lo Fong-phak mendirikan Kongsi Lan Fong di Mandor pada tahun 1777, belum ada pemerintahan yang menguasai daerah tsb. Maka semua hukum dan undang-undang yang berlaku disitu beliau yang menyusunnya. De Groot sangat kagum sejumlah pendatang campur-aduk yang berasal dari kaum petani biasa di Tiongkok mampu mendirikan negara dengan organisasi yang rapih dan terpimpin dimana berlaku hukum, ketertipan dan disiplin. Mereka memiliki perundang-undangan serta sistem keuangan sendiri. Negara republik tersebut perang satu sama lain dan perang dengan raja-raja Melayu. Perundingan dengan pemerintah Belanda yang jauh lebih kuat, telah mereka lakukan dalam tingkat sederajat. Dari manakah semangat republik dan demokratis yang besar itu, sedangkan orang-orang Barat selalu mengira kekuasaan di Tiongkok bersifat absolutis? De Groot telah mempelajari keadaan di Tiongkok dan berkesimpulan semua ini adalah warisan adat-istiadat dan sistem kebijaksanaan dari negara leluhur. De Groot menamakan mereka “… a free people, keen on its self established republican independency…”. Komisaris pemerintah kolonial Willer dalam tulisannya yang berjudul “Kronijk (chronicle) van Mampawa en Pontianak” menyebut Lanfong “republik konstitusional dibawah kekuasaan tritunggal (triumvirate)”.
            Kehancurannya negara-negara republik di Kalbar telah mendatangkan kemiskinan di daerah ini yang luasnya lebih dari empat kali negeri Belanda… De Groot mengecam pemerintah Belanda karena tidak pernah berusaha untuk betul-betul mengenal orang Tionghoa. Beliau berpendapat tidak ada golongan lain yang lebih banyak mengalami fitnahan di daerah penjajahan Belanda daripada golongan Tionghoa. De Groot bertindak sebagai juru bahasa. Semua hal antara pihak Belanda dan pihak pimpinan Tionghoa melalui tangannya dan beliau mengenal pemimpin kongsi dengan baik. De Groot telah mengumpulkan sebanyak mungkin dokumentasi karena mengetahui Belanda akan menyerang dan orang-orang Tionghoa tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Dokumen-dokumen negara republik yang lain musna dalam peperangan yang sudah-sudah.
            Van Rees seorang Belanda lain yang banyak mengetahui tentang negara republik suku Tionghoa tersebut, telah memberi kesaksian tentang pergaulan sama rata di republik itu. Orang yang berpangkat paling tinggi duduk berdampingan dengan kuli yang paling miskin. Menurut van Rees didalam penghidupan sehari-hari orang Tionghoa tidak mempersoalkan tingkat dan pangkat. Penguasa sipil Sambas bernama Muller dan seorang pejabat Belanda bernama Veth juga menyaksikan hubungan sama-rata. De Groot selanjutnya: “orang yang terendah pun setiap waktu dapat menghubungi pimpinan termasuk kapthai sendiri. Tiada pemimpin yang merasa tersinggung bila seorang dari rakyat-biasa memasuki ruang kerjanya untuk membicarakan urusan-urusan kecil. Bila bertemu dipersimpangan jalan, pemimpin dan rakyat-biasa saling menyambut dengan ramah…. Pada umumnya sama dengan sifat orang-orang Tionghoa yang datang ke jajahan Belanda…. Di Jawa disatu pihak pendatang baru dari Fukien dengan mudah dikuasai oleh pemuka-pemukanya, tetapi dilain pihak menunjukkan kemerdekaan yang bertaraf tinggi tanpa sikap resmi dan hormat yang berlebihan. Pihak pemimpin cukup bijaksana tidak menuntut kehormatan yang lebih besar. Mereka mengetahui para bawahannya itu orang-orang yang teresap dengan ajaran “hao” dan akan cukup mengindahkan pemimpinnya.”
            Saksi-saksi mata tersenut juga kagum tenaga kerja orang-orang Tionghoa. Hutan ditebang dan tanah yang tidak begitu subur dijadikan sawah, kebun gula dan kebun buah-buahan. Dikatakan tiada suku lain di dunia dalam keadaan yang sama dapat mewujudkannya. Bekerja dibawah terik panas matahari daerah khattulistiwa dari subuh hingga matahari terbenam, dipersukar oleh kekuasaan Belanda, tanpa perlindungan dari pemerintah tanah leluhur, tanpa modal, hanya dengan kecerdikan dan semangat-berusaha (spirit of enterprise). Menjalin hubungan keluarga dengan pihak Pribumi melalui pernikahan, secara umum terjadi sedari permulaan. Mendirikan sekolahan merupakan salah satu usaha yang utama, sekalipun didesa-desa yang kecil. Diantara kaum Tionghoa sukar dijumpai orang yang buta-huruf. Mereka disukai penduduk Pribumi sebagai tenaga yang berharga. Tidak seperti pihak Belanda yang dimana-mana datang dengan kapal perang, serdadu dan senapan. Dengan suku Dayak Batang-lupar dan Punan yang ditakuti sebagai pengayau (penggorok kepala) pun orang Tionghoa dapat memelihara hubungan yang baik. Sedangkan tidak ada orang Eropa yang berani berhadapan dengan suku-suku tersebut tanpa pengawal yang kuat. Demikianlah kesaksian pejabat-pejabat Belanda jaman itu.

Permulaan tahun 1960-an operasi chusus (Opsus) tentara telah melancarkan intrik penghasutan orang Dayak di pedalaman Kalimantan-Barat terhadap orang Tionghoa. Puluhan ribu orang Tionghoa dikejar-kejar, menjadi pengungsi di kota-kota pantai dalam keadaan payah. Banyak yang tewas. Dasar pikiran yang menelorkan operasi tsb menyalahi cita-cita nation-building serta merugikan nusa dan bangsa Indonesia. Adanya sejarah negara Thai Kong, Lan Fong dll., pada hakekatnya tidak beda misalnya dengan adanya negara Demak yang didirikan Jin Bun alias Raden Patah. Seperti dijelaskan diatas, negara Indonesia memangnya terdiri dari banyak bagian yang dulunya mempunyai kedaulatan sendiri. Operasi chusus tetap dilancarkan di Kalimantan-Barat karena penduduk didaerah yang bersangkutan keturunan Tionghoa, meskipun mereka warganegara Indonesia. Diskriminasi terhadap ket.Tionghoa adalah warisan politik adu-domba kolonial Belanda. Thailand yang tidak mengalami penjajahan telah menyerap orang-orang Tionghoa tanpa banyak persoalan. Apalagi bagi orang-orang yang pandai. Bekas Perdana Menteri Chuan Leek Pai dan banyak orang terkemuka lain serta tidak sedikit anggauta keluarga raja adalah keturunan Tionghoa yang sudah 100% menjadi orang Thai. Sebelum jaman kolonial orang2 Tionghoa di Indonesia juga dengan sendirinya terserap secara wajar. orang-orang keturunan Tionghoa seperti Raden Patah dan Endroseno hingga Cekong Mas (yang kuburannya suci dan terletak didalam suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo Jawa Timur), semuanya telah terserap 100% oleh pihak Pribumi Indonesia dimasa sebelum penjajahan.
      Tokoh-tokoh Tionghoa didalam sejarah mempunyai nama Pribumi dan mereka tidak menonjolkan diri sebagai orang Tionghoa. Ini mendekatkan mereka dengan pengikutnya serta melancarkan segala sesuatu. Sama dengan anggauta keluarga raja Belanda. Mereka semuanya keturunan Jerman, tetapi mereka juga tidak menonjolkan, bahwa mereka keturunan Jerman.






Ila hadhroti syayikhina Raden Patah .........
Al-fatihah.........




PANDUAN IBADAH DALAM ZIARAH MAKAM AULIYA'


SHOLAT SAFAR
Caranya :
§  Sholat 4 rokaat dengan 2 salaman
§  Setiap rokaat membaca الفاتحة  dan surat الإِخلاص satu kali
§  Setelah salam membaca do’a,
اَللَّهُمَّ إِنىِّ أَتَقَرَّبُ بِهِنَّ إِلَيْكَ فَاخْلُفْنِى بِهِنَّ فِى أَهْلِى وَمَالِى

§  Shighot Niatnya :
أُصَلِّى سُنَّةَ السَّفَرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتِ لله تعالى 

Faidah :
Sholat ini menjadiخليفة  (pengganti orang yang bepergian) dalam menjaga keluarga dan harta, mulai berangkat sampai kembali pulang. خزينةالأسرار) )[59] 

SHOLAT JAMA’ DAN QOSHOR
            Sholat fardu lima waktu dalam kaitannya dengan jama’ dan qoshor terbagi menjadi tiga bagian :
a.      Sholat-sholat yang diperbolehkan jama’ dan qoshor, dalam pelaksanaannya, yaitu tiga sholat yang jumlah rokaatnya empat (dhuhur ashar dan isya’).
b.     Sholat yang hanya diperbolehkan jama’ saja dalam pelaksanaannya, yaitu sholat maghrib.
c.      Sholat yang tidak diperbolehkan jama’ dan qoshor dalam pelaksanaannya, yaitu sholat subuh.[60]
v Syarat-syarat Jama’ Taqdim
1.    Pelaksanaan sholat dimulai dari sholat yang pertama
2.   Niat jama’ dihadirkan pada saat takbirotul ihrom sholat pertama. Boleh juga niat jama’ dihadirkan ditengah-tengah sholat pertama asal belum sampai salam.
3.   الموالاة (berurutan) diantara sholat pertama dan kedua. Tidak boleh ada pemisah antara kedua sholat. Oleh karena itu antara sholat pertama dan kedua, sholat rowatib tidak dilaksanakan.[61] Dikatakan bahwa jarak antara waktu kedua sholat tidak boleh terlalu lama kira-kira orang mengerjakan dua rokaat sholat.[62]
v  Syarat-Syarat Jama’ Ta’khir
1.    Sudah niat menjama’ sholat pada saat tiba waktu sholat pertama,
2.    Sampai selesainya sholat kedua masih berstatus musafir.[63]
v  Syarat-Syarat Diperbolehkannya Mengqoshor Sholat
1.    Perjalanan bukan untuk maksiat
2.   Jarak safar mencapai 16 farsakh[64] (89,58 kilometer)[65].
3.   Sholat yang diqoshor adalah ruba’iyah (sholat yang terdiri dari empat rokaat).
4.   Orang yang mengqoshor sholat menghadirkan niat ketika takbirotul ihrom .
5.   Orang yang mengqoshor sholat tidak makmum kepada orang mukim.[66]
6.   Selesainya sholat masih dalam perjalanan.

NIAT JAMA’ DAN QHOSOR

1.  Jama’ Taqdim dan Qhosor
1.       Dhuhur dan Ashar
Ø   Sholat pertama (dhuhur)
اُصَلِّي فَرْض الظُّهْرِمَجْمُوْعًااِلَيْه لعَصْرُتَقْديْمًاقَصْرًامَاءْمُوْمًالِلّهِ تَعَالي
Ø   Sholat Kedua (Ashar)
أُصَلِّي فَرْضَ العَصْرِمَجْمُوعًااِلَي الظُّهْرِتَقْديْمًاقَصْرًامَأْمُوْمًالِلّه تَعَالي
2.       Maghrib dan Isya’
Ø   Sholat pertama (Maghrib)
اُصَلِّي فَرْضَ المَغْرِبِ مَجْمُوْعًااِلَيْهِ العِشَأُ ُتَقْديْمًاقَصْرًامَأْمُومًا لِلّهِ تَعَالي
Ø   Sholat Kedua (Isya’)
اُصَلِّي فَرْضَ العِشَأِ مَجْمُوعًااِلَي المَغْرِبِ تَقْد ِيْمًاقَصْرًامَأْمُومًالِلّهِ تَعالي

2.  Jama Takhir dan Qhosor
1.  Dhuhur dan ashar
Niat jama` takhir dalam waktu sholat dhuhur seperti :
نَوَيْتُ تَأْخِيْرِالظُهْرِاِلَي العَصْرِلِلّهِ تَعَالي
Saya berniat mengakhirkan sholat dhuhur sampai sholat ashar karena ALLOH Ta`ala
Ø  Sholat Pertama
اُصَل فَرْضَ الظُّهْرِمَجْمُوْعًااِلَي العَصْرِتَأْخِيْرًاقَصْرًامَأْمُومًالِلّهِ تَعَالي
Ø  Sholat Kedua
اُصَلِّي فَرْضَ العَصْرِ مَجْمُوعًااِلَيْهِ الظُّهْرُتَأْخِيْراقَصْرًامَأمُومًالِلّهِ تَعَالي

2.   Maghrib dan Isya’
Niat jama` takhir dalam waktu sholat maghrib seperti :
نَوَيْتُ تَأْخِيْرِ المَغْرِبِ اِلَي العِشَأ ِلِلّهِ تَعَالي
Saya berniat mengakhirkan sholat magrib  sampai sholat isya` karena ALLOH Ta`ala
Ø  Sholat Pertama
اُصَلِّي فَرْضَ المَغْرِب مَجْمُوْعًااِلَي العِشَأِتَأْخِيْرًاقَصْرًا مَأْمُوْمًاللهِ تَعَالي
Ø  Sholat Kedua
أُصَلِّي فَرْضَ العِشَأِ مَجْمُوعًااِلَيْهِ المَغْرِبُ تَأْخِيْرِاقَصْرًامَأْمُومًالِلّهِ تَعَالي

Atau dengan lafad ringkas seperti di bawah ini
v  Jama’ Taqdim dan Qhosor

اُصَلِّي فَرْضَ الظّهْرِمَعَ الْعَصْرِجَمْعَ تَقْديْمًا قَصْرًا مَأْمُومًا لِلّهِ تَعَالي
اُصَلِّي فَرْضَ الْعَصْرِمَعَ الظُّهْرِجَمْعَ تَقْديْمًا قَصْرًا مَأْمُومًا لِلّهِ تَعَالي
اُصَلِّي فَرْضَ المَغْرِبِ مَعَ العِشَأِ جَمْعَ تَقْديْمًا قَصْرًا مَأْمُومًا لِلّهِ تَعَالي
اُصَلِّي فَرْضَ العِشَأِ مَعَ المَغْرِبِ جَمْعَ تَقْديْمًا قَصْرًا مَأْمُومًا لِلّهِ تَعَالي
v  Jama’ Ta’khir dan Qhosor

اُصَلِّي فَرْضَ الظُّهْرِمَعَ الْعَصْرِجَمْعَ تَأْخِيْرٍ قَصْرًا مَأْمُومًا لِلّهِ تَعَاليٍ
اُصَلِّي فَرْضَ الْعَصْرِمَعَ الظُّهْرِجَمْعَ تَأْخِيْرٍ قَصْرًا مَأْمُومًا لِلّهِ تَعَالي
اُصَلِّي فَرْضَ المَغْرِبَ مَعَ العِشَأِ جَمْعَ تَأْخِيْرٍ قَصْرًا مَأْمُومًا لِلّهِ تَعَالي
اُصَلِّي فَرْضَ العِشَأِ مَعَ المَغْرِبَ جَمْعَ تَأْخِيْرٍ قَصْرًا مَأْمُومًا لِلّهِ تَعَالي
ZIARAH KUBUR

A.  Hukum Ziarah Kubur
Ziarah ke makam orang muslim bagi kaum laki-laki hukumnya sunah, terlebih lagi pada hari-hari tertentu dan pada orang-orang tertentu. Sedangkan bagi kaum wanita hukumnya makruh, kecuali ziarah ke makam Rosulullah SAW, para Wali, dan makamnya orang-orang sholih, maka hukumnya sunah. Rosulullah SAW bersabda,

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُرُوْهَا فَاِنَّهَا تَذْكِّرُ الآخِرَةَ
     “Aku dahulu melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah. Karena sesungguhnya ziarah kubur dapat mengingatkan kalian akan kehidupan akhirat”[67]
             Waktu yang lebih utama untuk melakukan ziarah adalah pada hari Kamis sore, malam Jum’at, hari Jum’at sampai Sabtu pagi, hari raya Idul Fitri dan ‘Idul ‘Adha. (Tanwir)[68]

B.  Hikmah Ziarah Kubur
Al- ‘Alamah Syaikh Muhammad Jamaludin bin Muhammad al- Qosimi dalam kitab Mau’idhoh al Mu’minin menyebutkan tiga hikmah di balik anjuran untuk melakukan ziarah kubur :
1.    Berdo’a untuk arwah orang yang diziarahi dan kaum muslimin agar mendapatkan ampunan dan selamat dari siksa kubur.
2.Sebagai wahana instropeksi dan muhasabah.
3.   Hati menjadi lembut karena ziarah kubur dapat mengingatkan pada kematian dan kehidupan akhirat.[69]

C.  Adab Dan Tata Cara Ziarah Kubur
Ketika berziarah ke makam, disunahkan untuk menjaga adab dan etika dalam berziarah. Tata cara ziarah kubur  menurut para ulama’ salaf adalah :
1.    Suci dari hadas besar dan kecil.
2.   Mengucapkan salam pada saat sampai pada pintu pemakaman, yaitu

السلام عليكم دَارَ قَوْمِ مُؤَنِيْنَ وَإِنَا إَنْ شَاءَ اللهُ بَكُمْ لاَحْقُوْنَ
Atau
السلام عليكم أهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللُه بِكُمْ لاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللَه لُنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةِ

3.    Membaca do’a
اَللَّهُمَّ رَبِّ الأِجْسَاِد الْبَالِيَةِ وَالأَظام النخرة اَلَّتِي خَرَجَتْ مِنَ الدُّنْيَا وَهِيَ بِكَ مُؤْمِنَةِ اُدْخُلْ عَلَيْهَا رُوْحًا مِنْ عِنْدِكَ وَسَلَامًا مِنِّي
Diriwayatkan dari Imam Hasan al- Bashri : “Barang siapa masuk kepemakaman kemudian berdo’a allahumma robbal ajsadal baliyah….dst, maka seluruh orang yang beriman sejak Nabi Adam As. memintakan ampun untuknya.
4.    Mendekat ke makam orang yang diziarahi.
5.   Menghadap kearah muka orang yang diziarahi  (menghadap timur untuk wilayah Indonesia).
6.   Mengucapkan salam secara khusus pada orang yang diziarahi :
a.    Untuk Orang Tua
السلام عليك يَا وَالِدَيَّ/ وَالِدَتِي
b.   Untuk Waliyulloh
السلام عليك يا ولي لله.  السلام عليك يا الشيخ .......
جِئْنَاكَ زَائِرِيْنَ وَعَلَي مَقَامِكَ وَاقِفِيْنَ وَلَاتَرَدُّناَّ خَائِبِيْنَ. نَسْتَوْدِعُكَ شَهَادَتَنَا أَنَ لَاإِلَهَ اِلَا للهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
        "Salam sejahtera untukmu wahai kekasih Allah. Salam sejahtera untukmu wahai Syaikh ….. Kami datang berziarah kepadamu, kami duduk bersimpuh di hadapan makammu. Jangan kau tolak kami (sehingga menjadi ) orang-orang yang rugi. Kami menitipkan padamu syahadat kami “Asyhadu an-Laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan Rosulullah”
7.   Membaca ayat-ayat al-Qur’an seperti surat Yasin atau yag lain.
8.   Membaca Tahlil atau yang lain.
9.   Membaca do’a
اَللَّهُمَّ أَوْصِلْ وَتَقَبَّلْ ثَوَابَ مَا قَرَاْنَاهُ مِنَ الْفَاتِحَةِ....الخ
Keterangan :
Dalam kitab bughyah al- Mustarsyidin disebutkan: “Barang siapa membaca do’a berikut ini tiga kali di samping makam seseorang, maka arwah dalam makam tersebut tidak akan mengalami siksaan sampai hari kiamat”,

اَللَّهُمَّ بِحَقِّ سَيِّدِنَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ لَا تُعَذِبْ هَذَا الْمَيِّتَ[70]

Selain itu, hal-hal lain yang perlu diperhatikan pada
           saat pelaksanaan ziarah kubur adalah :
1.    Jangan menginjak makam, melangkahi makam, duduk di atas makam atau nisan dan bersandar ke makam. Hal tersebut hukumnya makruh, kecuali jika terpaksa melangkah di atas makam untuk menuju makam yang akan diziarahi (Nihayah al- Zain),
2.   Begitu juga makruh mencium atau mengusap makam (nisan)/cungkup di atasnya, dan mencium gerbang atau
pintu masuk makam para ‘Auliya’, kecuali jika bermaksud  ngalap barokah.(Hasyiyah al- Bajuri)[71] 

TAWASSUL

A.  Definisi Tawassul
Yang dimaksud tawassul adalah do’a atau permintaan kepada Allah yang disampaikan melalui para kekasih Allah, misalnya para Nabi, para Sahabat Nabi, para Wali dan Orang- Orang yang Sholih.[72]

B.  Dasar Hukum
Dalam surah Al- Ma’idah 35 disebutkan,

يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةِ وَجَاهِدُوْا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (المائدة/35)
“Wahai orang – orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan)untuk mendekat kepada, dan berjuanglah di jalan-Nya agar kamu beruntung.
Dalam kitab bughyah al- Mustarsyidin dijelaskan bahwa bertawwasul kepada para nabi dan para wali pada masa hidupnya atau setelah wafatnya, hukumnya  adalah Mubah sebagaimana diriwayatkan hadist shoheh seperti hadits tentang nabi Adam As ketika melakukan maksiyat, hadist tentang orang yang kedua matanya sakit dan hadist tentang syafa’at.[73]
Selain itu, dalam kitab al-mausu’ah al-fiqhiyah juga dijelaskan bahwa seluruh ahli kubur itu hidup. Mereka dapat berfikir, mendengar, melihat dan mengetahui orang-orang yang menziarahinya dan orang-orang yang mengucapkan salam kepadanya. Mereka juga bisa membalas salam. Hal ini berdasarkan hadist Nabi dan ijma’. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh al- Bukhori :

إِنَّ الْمَيِّتَ إِذَا دُفِنَ وَتَوَلَّي عَنْهُ أَصْحَابُهُ يَسْمَعُ قَرَعَ نِعَالِ....الخ  (رواه البخاري)

Sesungguhnya mayit apabila telah dikubur sedangkan orang-orang yang menziarahinya telah pergi, dia (mayit) bisa mendengarkan suara sandal (pentakziyah yang pergi meninggalkannya) ( (تويرالقلوب ص367  و 372

C.  Metode dan Tata Cara Bertawassul
          Metode dan tata cara bertawassul terhadap kekasih Allah yang sudah meninggal dunia tidak jauh beda dengan metode ziarah kubur di atas yaitu, ketika sampai di gerbang pemakaman mengucapkan salam, misalnya “assalamu’alaikum ahla al- diyar minal mu’minin wal muslimin, wa inna insyaallah bikum laahiqun, nas alu Allah lana wa lakum al-‘aafiyah”.[74]
Setelah duduk menghadap orang yang diziarahi, kemudian mengucapkan salam:

السلام عليك يا ولِيَّ للهِ.  اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ يَا الشَّيْخُ .......جِئْنَاكَ زَاِئرِيْنَ وَعَلَي مَقَامِكَ وَاقِفِيْنَ وَلَاتَرُدُّنَا خَائِبِيْنَ. نَسْتَوْدِعُكَ شَهَادَتَنَا أَنْ لَاإِلَهَ اِلَا للهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Kemudian membaca ayat-ayat al-Qur’an seperti Yasin dan juga tahlil, atau yang lain. Selanjutnya berdo’a agar fadhilah dari apa yang telah dibaca disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW dan segenap keluarga, para Sahabat, para Tabi’in, para imam Mujtahid, para Ulama’, para kekasih Allah, Para Guru, Orang Tua, dan Kaum Muslimin Muslimat.[75]

Selanjutnya berdo’a agar orang –orang yang diziarahi tersebut diampuni kesalahannya, diberi kenikmatan dalam kuburya, dan mendapat surga Allah. Setelah itu berdo’a, memohon kepada Allah seraya bertawassul melalui kekasih Allah agar hajat dan keinginannya dikabulkan oleh Allah. Diantara do’a tawassul adalah,
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ وَبِوَلِيْكَ صَاحِبِ هَذَا الْمَقَامِ بِحُرْمَةِ جَمَالِكَ الْبَاقِى وَوُجْدِكَ الأَعْظَمُ وَبِحُرْمَةِ سَيدنا محمد صلى لله عليه وسلم أَنْ تَقَضِيَّ حَجَاِتنَا.....يَا اللهُ يَارَبِّ آَتِنَا مَا سَأَلْتُكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
“Ya Allah..kami memohon (bertawassul) kepadamu melalui kekasihmu yang menghuni makam ini, dengan kemulyaan keindahan-Mu yang kekal, dan anugrahmu yang agung, dan dengan kemulyaan junjungan kami Muhammad SAW, agar Engkau mengabulkan keinginan kami….(sebutkan hajatnya)… Ya Allah Ya Tuhanku, berikanlah apa yang kumohon pada-Mu wahai Dzat yang paling Mengasihi dari yang mengasihi”.[76]
Catatan :
Do’a dan tawassul yang dipanjatkan di makam orang-orang sholih insyallah cepat dikabulkan oleh Allah SWT.[77]
Wallahu a’lam bish-showab, Al Fatihah . . .

DO’A

DO’A ADAM AS.
بِسْمِ الله الرَّحْمن الرحيم

رَبَّنَااِنَّكَ تَعْلَمُ سِرِّى وَعَلاَ نِيَتِى فَاقْبَلْ مَعْذِرَتِى وَتَعْلَمُ حَاجَتِى فَاعْطِنِى سُؤْلِى وَتَعْلَمُ
مَافِى نَفْسِى فَاغْفِرْلِى ذَنْبِى فَاِنَّهُ لاَيَغْفِرُالذُّنُوْبَ اِلاَّاَنْتَ
Dibaca sendiri-sendiri setelah dzikir bersama
CATATAN :
v  Amalan di setiap makam yang diziarahi adalah Fatihah 100 X dan Al-ikhlas 40 X
v  Untuk makam Gus Miek (tambak) & Moh. Dalhar (gununng pring ) adalah dzikrul ghofilin 
v  Masing-masing dimohon untuk membawa tasbbih & dzikrul ghofilin
Do’a Berangkat
الفاتحة
اﻹﺨﻼﺹ
ﺍﻠﻔﻟﻖ
ﺍﻠﻨﱠﺍﺲ
ﺘﻮَﺠﱠﻬْتَ حَيْثُ شِئْتَ فَإِﻨﱠﻚَ مَنْصُوْرٌ ﻻَﺇِﻟﻪَﺇِﻻﱠﺍﷲُﻮَﺤْﺪَﻩُﻻَﺸَﺮﻴْﻚَﻟَﻪُ ﻤُﺤَﻤﱠﺪٌﻋَﺑْﺪُﻩُﻮَﺮَﺴُﻮْﻠُﻪُ
ٳِﻨﱠﺎﺃَﻨْﺯَﻠْﻨَﺎﻩُﻔِﻰﻠَﻴْﻠَﺔِﺍﻠْﻘﺪْﺮ...٣x

Do`a Masuk Makam
1.Masuk area makam
السلام عليكم يَااَهْلَ دِيَارِقَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ فَاِنَّااِنْ شَأَاللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
2.Masuk makam yang diziarohi
السلام عليكم يَااَوْليَأالله
السلام عليكم يَاوَلِيَّ الله ...(الشيخ......)
جِئْنَاكُمْ زَائِرِينَ وَعَلى مَقَامِكُمْ وَاقِفِينَ
اِسْتَوْدَعْنَاكَ شَهَادَةَاَنْ لاَاِلَهَ اِلاّالله وَانّ محمّدارسول الله صلى الله عليه وسلّم
Do`a Bepergian
1. Ketika berangkat (keluar) dari rumah (kamar)
بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى الله لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّبِالله العَلِىِّ العَظِيم
     Dengan disertai niat yang baik
2. Ketika masuk kendaraan (Bus,dll)
بِسْمِ الله الرَّحْمن الرحيم بِسْمِ الله الله اَكْبَرْ الله اَكْبَر ْ الله اَكْبَرْ سُبْحَانَ الله 3× الحَمْدُلله 3×
لاَاِلَهَ اِلاّالله مُحَمَّدارَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلّم
3. Ketika kendaraan mulai berjalan
بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ سُبْحَانَ الَّذِي ىسَخَرَلَنَاهَذَاوَمَاكُنَّ لَهُ مُقْرِنِيْنَ وَاِنَّا اِلىَ رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ



Daftar PUSTAKA

Abdul Yasin, Penuntun Sholat Lengkap Dengan Do’a-Do’a Penting
Ahmad  Mubarok Yasin, Ensiklopedi Penulis Pesantren Jombang:Pustaka Tebu Ireng ,2009.
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam Jakarta : PT ikrar mandiri abadi, 2003.
Gregbarton. Biografi Gus Dur: The Autorited Biography  of Abdurrahman Wahid. terj. Lie Hua Yogyakarta: PT. LKS Pelangi Aksara Yogyakarta. 2004.

Imam Nawawi Al Bantani, Nihayah al Zain fi Irsyadi al-Mubtadiin ttt: Darul Ihya’, tt.
Imam taqiyuddin, Kifayah al-Akhyar  Beirut: darul kutub, tt.
Muhammad Hasyim, Ahmad Athoillah, Khazanah Khatulistiwa, Potret Kehidupan Kyai-Kyai Nusantara .Yogyakarta : Arti Bumi Intaran, 2009.
M.Masykur Khoir,Rahasia Alam Barzah Kadiri : Duta Karya Mandiri, 2009.
M. Miftah Abdul Hanan Ma’sum, Ta’lim Al Mubtadi  Kediri: tp, tt.
Muhammad Mirza. “Gus Dur sang Penakluk: Sebuah Biografi Singkat” .Jombang: Pustaka Warisan Islam.2010.
Muhammad Nurul Ibad, Perjalanan dan Ajaran Gus Miek Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007.
Muhammad Rawas Qal’ahji, Mu’jam Lughoh al- Fuqoha’, Dar al-Nafis, Beirut,Cet. I, 1996,
Muhammad Rifa’i, KH. Cholil Bangkalan-Biografi Singkat 1820-1923 Jogjakarta: Garasi House Of Book, 2010.
Murodi Umami,Sejarah Kebudayaan  Islam Semarang: Toha Putra, 2006.
Samsul Munir Amin, “Karomah Para Kyai”  Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008.
_______________, Qut al Habib al-Ghorib  Bairut: Darul Kutub, tt.

Catatan :     
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
____________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Catatan :
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
Catatan :
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________
_____________________________________________


[1] Selain mondok di Jampes, Mbah Hasyim juga pernah mondok di Tertek Pare dan PP. Mranggen Jawa Tengah
[2] Menurut keterangan KH. Abdussami’ Hasyhim, diniyah mayak kulon inilah yang menjadi cikal bakal PP. Darul Huda Mayak Ponorogo.
[3] Lokasinya sekarang ditempati gedung madrasah depan Madrasah Miftahul Huda.
[4] Ingkung adalah ayam bakar lodho khas jawa
[5] Beliau adalah salah seorang sesepuh PP. Darul Huda Mayak
[6] Maksudnya Gus Tajuddin Heru Cokro, putra Gus Miek. Data ini diperoleh dari sebuah rekaman kaset pita yang dimiliki oleh salah seorang santri Darul Huda, yang direkam pada acara Haul Kyai Hasyim Sholeh pada tahun 2005.
  [7] Kyai Man Hamim adalah pengasuh putra-putra Gus Miek dari kecil. Nama aslinya adalah Hamim, sedangkan kata “man” berasal dari kata paman. Keterangan KH. Abdussami’ Hasyim Pengasuh PP. Darul Huda Mayak.
[8] Padahal waktu itu Kyai Hasyim belum pernah sowan Mbah Mundzir, tapi Mbah Mundzir seolah-olah sudah kenal dengan Kyai Hasyim Sholeh.
[9] Namun  Gus Tajuddin lupa  tahun berapa Mbah Mundzir mengutusnya.
[10] Yaitu Mahfudz, sesuai dengan keterangan yang disampaikan Gus Tajuddin Heru Cokro.
[11] Yaitu diabetes mulai tahun 1984, setelah itu merambat ke jantung. Keterangan KH. Abdussami’ Hasyim
[12]Sesuai yang diceritakan oleh seluruh orang yang  mengikuti pemakaman beliau, dimana langit mendung dan gerimis mengelilingi prosesi pemakaman beliau.
[13] Muhammad Nurul Ibad, Perjalanan dan Ajaran Gus Miek (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007), 5.
[14] Ibid., 18.
[15] Ibid.,9.
[16] Ibid., 9-10.
[17] Ibid.
[18] Ibid.,12.
[19] Ibid.,12-13.
[20] Ibid.
[21] Ibid.,14.
[22] Ibid.,15.
[23] Ibid.,20.
[24] Ibid.,21.
[25] Ibid.,21-22.
[26] Ibid.,23.
[27] Ibid.,23-24.
[28] Keterangan KH. ‘Abdul Ro’uf, Pikatan Blitar. Ibid.,25.
[29] Keterangan  KH. Hafizh Syafi’I, Pengasuh Pesantren Manba’ul Hidayah, Tlogo, Blitar. Ibid., 26.
[30] Keterangan KH. Moch. Yunus, Trenggalek. Dia menjadi pengurus pondok saat Gus Miek menjadi santri di Lirboyo. Ibid.
[31] Ibid.,111.
[32] Lailiyah adalah embrio dari dzikrul ghofilin. Lihat Muhammad Nurul Ibad, Perjalanan Dan Ajaran Gus Miek,117.
[33] Ibid.,112.
[34] Ibid., 114.
[35] Ibid., 114-115.
[36] Diambil dari cerita KH. Hafidz Jatinom, Blitar.Ibid.,148.
[37] Ibid.,150.
[38] Ibid.,309-
[39] Diambil dan dikembangkan dari beberapa dawuh KH. Mubasyir Mundzir, tentang Gus Miek kepada para pengikut Gus Miek, dari dawuh Gus Miek kepada Ali Muhammad : “Kamu jangan ingin menjadi atau disebut wali, atau ingin disebut orang pintar. Yang paling penting bagaimana kamu menempuh jalan sebagaimana orang itu”. Beberapa data dilapangan menunjukkan bahwa telah terdapat sekian orang yang mencoba meniru-niru Gus Miek tetapi justru tersesat lebih jauh. Ibid., 311.
[40] A. Mubarok Yasin. Ensiklopedi Penulis Pesantren (Jombang:Pustaka Tebu Ireng. 2009), 116.
[41] Gregbarton. Biografi Gus Dur: The Autorited Biography  of Abdurrahman Wahid. terj. Lie Hua (Yogyakarta: PT. LKS Pelangi Aksara Yogyakarta. 2004), 25.
[42] Muhammad Mirza. “Gus Dur sang Penakluk: Sebuah Biografi Singkat” (Jombang: Pustaka Warisan Islam.2010), 2.
[43] A. Mubarok Yasin. Ensiklopedi Penulis Pesantren, 117. 
[44] Ibid.
[45] Muhammad Mirza, “Gus Dur Sang Penakluk, Biografi Singkat”, 45-46.
[46] A. Mubarok Yasin, Ensiklopedi Penulis Pesantren, 119.
[47] Samsul Munir Amin, “Karomah Para Kyai” (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008), 36-41.
[48] Muhammad Mirza, “Gus Dur Sang Penakluk, Biografi Singkat”, 39-41.
[49] Ibid, 42-44.
[50] Dewan redaksi, Ensiklopedi Islam (Jakarta : PT ikrar mandiri abadi, 2003), 174.
[51] Murodi Umami,Sejarah Kebudayaan  Islam (Semarang: Toha Putra, 2006), 246.
[52] Ibid., 245.
[53] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam(Jakarta : PT ikrar mandiri abadi, 2003), 177.

[54].Murodi umami,Sejarah Kebudayaan  Islam,248
[55] Murodi Umami,,sejarah kebudayaan  Islam,hal 254
[56] Murodi Umami,,sejarah kebudayaan  Islam,hal 254

[57] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam (Jakarta : PT ikrar mandiri abadi, 2003),176.
[58] A. Mubarok Yasin,Ensiklopedi Penulis Pesantren(Jombang:Pustaka Tebu Ireng ,2009), 14.
[59] M. Miftah Abdul Hanan Ma’sum, Ta’lim Al Mubtadi (Kediri: tp, tt), 15.
[60] Imam Nawawi Al Bantani, Nihayah al Zain fi Irsyadi al-Mubtadiin (ttt: Darul Ihya’, tt), 133.
[61] Imam taqiyuddin, Kifayah al-Akhyar (Beirut: darul kutub, tt), 206.
[62] Abdul Yasin, Penuntun Sholat Lengkap Dengan Do’a-Do’a Penting, 60.
[63] Ibid. 60.
[64] Nawawi al Bantani, Qut al Habib al-Ghorib (Bairut: Darul Kutub, tt), 121.
[65] Muhammad Rawas Qal’ahji, Mu’jam Lughoh al- Fuqoha’, Dar al-Nafis, Beirut,Cet. I, 1996,h.418-420. Lihat juga Muhammad Ma’shum bin’Ali, Fath al-Qodir fi Awzan al- Maqodir, Salim Nabhan, Surabaya, t.t.
[66] Imam Nawawi al-Bantani, Qut al Habib, 121.
[67] M.Masykur Khoir,Rahasia Alam Barzah(Kadiri : Duta Karya Mandiri, 2009), 7.
[68] Ibid.
[69] Ibid., 8.
[70] Ibid., 10-13.
[71] Ibid.,13-14.
[72] Ibid., 14.
[73] التوسل بالأنبيإ والأوليإ في حياتهم وبعد وفاتهم مباح شرعا.كما وردت به السنة كحديث أدم عليه السلام حين عصي وحديث من اشتكي عينيه وحديث الشفاعة..(بغية المسترشدين:ص297 )
[74] Ibid.
[75] Ibid.,16.
[76] Ibid.,16-17.
[77] Ibid.,17-18.